Minggu, 10 Februari 2013

Cerpen #Rumah



RUMAH REOT



Seperti pohon di tengah sawah. Ditiup angin kian kemari. Kadang senyap. Kemudian terpaan kembali hinggap. Demikian cinta dalam hati bersarang. Memerlukan penopang yang kuat untuk meneguhkannya. Menghalau segala ujian. Godaan. Menanamkan kesetiaan di dalamnya, tulus, jujur dalam meladeni cinta. Karena cinta adalah kepercayaan, jika di hatimu tidak ada lagi kepercayaan untuk  sang kekasih, maknanya cintamu sedang sakit maka obatilah dia. Jangan biarkan mendarah daging.

Setiya, hatinya masih dibakar cemburu, melihat suaminya beberapa hari ke belakang  selalu berpakaian rapih. Seribu tanda tanya mulai bersarang di kepalanya. Ada apakah gerangan? Adakah suamiku sedang terpikat seorang perempuan? Tanya batin Setiya.

 “Berapa kali saya harus tanya Mas, sebenarnya sekarang Mas kerja dimana? Mengapa harus berahasia segala ?”

Likur hanya menolehkan pandangannya sebentar menatap Setiya yang sedang duduk di atas dipan. Di dapatinya gurat curiga di wajah wanita yang sudah sepuluh tahun dinikahinya itu.

“Dulu kamu tidak pernah tanya apa yang saya lakukan di luar rumah, kok sekarang jadi perhatian begini? Yang penting sore nanti saya bawa balik uang ke rumah kita yang sudah hampir ambruk ini?”
“Saya cuma mau tahu apakah sekarang Mas sudah dapat pekerjaan tetap, tidak ada salahnya kan, Mas ?”

Likur hanya mendiamkan pertanyaan Istrinya, sambil tidak henti menyapukan krim ke kepalanya, dan menyisir rambutnya sampai kelimis.

“Mas… Kok pertanyaan saya nggak dijawab? Kamu kerja dimana sebenarnya ?”
 “Setiya…. Sudahlah, kamu jangan banyak tanya! Yang penting semua yang saya lakukan ini untuk kamu, dan  anak kita. Sudah …Saya berangkat dulu.”
“Masss…”

Likur ke luar dari kamar tanpa menghiraukan pertanyaan Setiya yang dibebani segunung kebimbangan, dan rasa sedih yang mulai menggerogoti hati. Sebuah bingkai foto yang di dalamnya berisi foto pernikahannya yang hampir usang, diraihnya dan kemudian ditatapnya lama. Terimbas kembali memori indah masa silam, bagaimana dia mengenal seorang pemuda yang selalu menolongnya mengangkat cucian dari sungai menuju ke rumahnya. Dan berjuang melawan tentangan orang tuanya untuk mendapatkan cintanya. Kawin lari juga yang akhirnya menyatukan mereka, tanpa restu orang tua. Hidup serba sederhana di pulau seberang, sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Namun hidup tetap tiada perubahan. Berlindung di bawah rumah reot yang mampu mereka bina.

***

Wanita berbaju merah ketat itu masih kelihatan seksi, walaupun gurat penuaan cukup tergambar jelas di wajahnya. Namun sama sekali tidak mengurangi keindahan tubuhnya bagi setiap lelaki yang memandang. Demikian pula Likur. Sebagai lelaki normal seringkali jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, setiap berdekatan dengan wanita yang sekarang bergelar majikannya itu, Tante Mona…

“Lik, tidak bisakah kamu bekerja sampai malam di sini? Semakin hari customer tante makin banyak. Mereka bilang servis kamu sangat bagus.”
“Bisa saja sih tante, tapi tidak lebih dari jam 8 malam, saya harus bagi waktu juga untuk keluarga saya.”
“Biasa diatur tuh, Lik! Tante jamin kehidupan keluarga kamu akan bahagia jika kamu terus bekerja dengan tante. “
“Terima kasih, tante!”
“Oh, iya ! Sebentar lagi ada kawan tante datang, namanya Tente Jamilah. Dia ini istri konglomerat lho, kamu servis dia yang bagus ya, Lik.”
“Siap tante…!”
“Dia juga nggak suka terlalu banyak krim, sedikit saja ya, Lik !”
“Beres Tante…”

Setelah berbicara dengan bossnya, Likur kemudian pergi ke ruang ganti di tempat kerja yang baru sebulan diterimanya. Uniform kerjanya sangat simple, celana pendek dan t-shirt ketat berwarna putih, yang seolah ingin mempertontonkan kejantanan beberapa kerja lelaki yang ada di tempat itu.

***

Malam sudah cukup lewat, ketika Setiya masih  termangu di depan meja makan. Makanan yang sejak sore tadi ia siapkan, segalanya sudah menjadi dingin. Seperti hatinya yang dilanda  sedih luar biasa. Kecurigaan Setiya akan Likur semakin kuat dan beralasan, bahwa suami tercintanya sedang menyembunyikan sesutu yang besar dari dirinya. Hatinya tidak henti berbicara bahwa cintanya sudah dikhianati. 

“Kamu belum tidur Setiya…?!”

Setiya tidak menjawab, lantas saja bangkit dari tempat duduknya. Teko air yang ditujunya, menuangkan segelas air putih untuk suaminya yang jam 11 malam baru sampai di rumah…

“Saya capek Setiya, tolong jangan tunjukan sikap kekanak-kanakan kamu itu!”
Setiya membisu, namun kebiasaan melayani makan dan minum suaminya tetap ia lakukan.
“Kamu harus percaya Setiya, apapun yang saya lakukan di luar sana, semua ini demi kebahagiaan kamu dan anak-anak kita, untuk masa depan mereka. Jadi sekali lagi tolong kamu mengerti dan jangan berperangsangka bukan-bukan!”
“Saya hanya berdoa, smoga yang Mas kerjakan di luar sana sesuatu yang halal, dan uang yang Mas berikan tidak mengotori darah saya dan anak-anak.”

Ucapan Setiya hanya ditimpali dengan senyuman dan gelengan kepala Likur. 

“Apapun yang ingin kamu katakan, terserah ! Yang penting saya sudah tidak tahan hidup dalam kesusahan dan terkungkung di dalam rumah reot ini..”
“Selagi saya belum tahu apa pekerjaan kamu Mas, saya nggak mau pindah dari rumah ini!”
Praaaaaangggggg……… !!!

Likur menepis piring di atas meja yang masih berisi nasi jatuh berderai ke lantai menimbulkan suara gaduh…

“Setiya…!!! Kamu benar-benar mau melihat saya marah ya…!!!?” tengking Likur.
Setiya hanya menudukkan pandangannya dalam.
“ Jika kamu memang masih menjadi istri saya, jangan pernah menguji kesabaran saya lagi. Dengar itu Setiya !”
 “Terserah kamu, Mas…” ucap Setiya pelan sambil membuang pandangannya dari hadapan Likur.
“Pokoknya saya tidak mau sedikitpun kamu menyelidiki pekerjaan saya, fatal Setiya kalau kamu sampai melakukannya!”
“Ibuuu….. ”
Tiba-tiba Rona dan Roni yang terbangun oleh pergaduhan orang tuanya meluru memeluk Setiya.
 “Ayah jahat! Kenapa ayah memarahi, Ibu? Katanya Ayah sangat sayang kepada Ibu?” seru Rona anak bungsu Likur yang usianya baru lima tahun itu.
“Iya…Ayah bohong! Waktu itu Ayah bilang Ayah sangat mencinta Ibu. Bohong itu dosa lho, Yah.”
Mendengar protes kedua cahaya matanya, penyesalan segera mencairkan rasa marah likur terhadap istrinya. Dia menghela nafasnya beberapa kali. Sementara air mata Setiya tidak mampu ia bendung lagi.
“Rona-Roni sini… dekat dengan ayah!” pinta likur memanggil kedua anaknya yang sedang memeluk ibunya. Kedua anak manis itu pun mendekatinya.
“Siapa bilang Ayah bohong… tadi itu Ayah hanya bermain-main saja dengan Ibu. Kalo tidak percaya, lihat nih…. !”
Likur pun mendekati setiya, kemudian ia memeluknya dan mendaratkan sebuah kecupan di kening istrinya yang tertunduk.
“Ayah tidak bohong kan?”
“Cium pipi ibu dong, Yah…” pinta Rona.
“Ermmm…. Okey! Muaaahhh…” Likur pun menyosor pipi istrinya demi dua mutiara berharga di depannya.
“Mas apa-apaan, sih….!” Ucap Setiya jadi tersipu. Likur malah memeluknya erat.
“Rona mau cium Ibu juga ah !”
“Roni jugaaaa… ”

Dan empat insan yang dibalut cinta dan kasih sayang itu berpelukan penuh kemesraan. Likur memang tidak pernah bisa memungkiri hatinya bahwa hanya maut saja yang bisa memisahkan ia dengan keluarganya, karena mereka adalah segalanya. Sebersit sesal juga datang melanda hati Likur, tidak seharusnya ia merahasiakan pekerjaannya. Tapi bagaimana ia harus menjelaskannya, ia tidak mau istrinya terluka. Maaf kan saya, Setiya! Bisik Likur sambil memeluk istri dan anaknya.

***

Tante Mona mandar-mandir dengan penuh kegelisahan,  menunggu  Likur yang tidak kunjung tiba. Pelanggan yang sudah mem-booking-nya tetap saja tidak mau dilayani  lelaki  lain.

“Sekarang ini sudah jam berapa? Kenapa kamu baru sampai, Lik?” sambut Tante Mona saat Likur akhirnya datang juga.
“Maaf Tante, saya memang sengaja. Saya mau berhenti Tante..”
“Hey… Ada apa nih, Lik ? Tiba-tiba saja kamu mau berhenti. Apa kamu merasa gaji kamu tidak cukup !? Kalau itu masalahnya tante bisa mempertimbangkan lagi…”
“Bukan Tante, saya mau cari pekerjaan lain saja. Lama-lama saya merasa bersalah melakukan pekerjaan ini…!”
“Aneh kamu ini, orang diajak hidup senang malah nggak mau! Tapi kamu jangan lupa, kamu masih berhutang cicilan rumah yang sudah tante bayarkan. Atau begini saja Lik, Tante bersedia memberikan rumah itu tanpa kamu haru membayar apa-apa lagi, asalkan kamu mau bekerja disini 1 tahun lagi, Lik! Bagaimana, kamu mau, kan?”

Likur termenung sejenak mendengar tawaran lumayan besar itu. Bagaimana tidak, rumah BTN yang sudah beberapa bulan ditempatinya akan diterimanya tanpa harus membayar apa-apa sedangkan harganya puluhan juta rupiah itu. Hati likur diwarnai bimbang tiba-tiba, namun saat teringat Setiya yang sejak pindah di rumah barunya selalu murung dan tidak bahagia membuat semua tawaran besar itu tidak berarti apa-apa. Baginya kebahagiaan Setiya adalah di atas segalanya, dan ia telah cukup jauh menyalah artikan sebuah kebahagian dengan materi semata.

“Maaf, Tante ! Saya tidak bisa, saya memang ingin berhenti bekerja. Dan saya akan menyerahkan kembali rumah itu secepatnya. Sekali lagi saya minta maaf…!”

Tante Mona hanya bisa menghela nafasnya, rasa kecewa jelas tergurat di wajah wanita berdandanan menor itu.

“Ya sudah Lik, terserah kamu saja, tapi Tante memang sangat kecewa dengan keputusan kamu ini. Tapi  Tante mohon dengan sangat, kamu bisa melayani Tante Jamilah, sudah lama dia menunggu… untuk terakhir kalinya saja, Lik !”
“Maaf Tante, saya tidak bisa…!”
“Lilik tolong lah, Tante Jamilah itu orang besar, Tante sangat takut jika dia kecewa ! Apa perlu tante berlutut agar kamu mau menolong Tante, Lik ! “

Seperti terpojok pada sebuah sudut, ternyata Likur tidak mampu mengelak dari menuruti keinginan Tante Mona. Melayani Tante Jamilah adalah keinginan setiap lelaki yang bekerja disitu, bagi mereka wanita itu adalah pohon uang berjalan. Namun wanita itu hanya tertarik kepada Likur untuk menyapu krim di badannya. Dan dengan sangat terpaksa untuk terakhir kali, Likur harus beredia melakukannya. Hidup memang terkadang menempatkan seseorang pada pilihan yang sangat sukar.

***

Rumah reot, yang hampir sepuluh tahun menaungi Setiya dan keluarganya begitu sepi dan tidak bermaya. Seolah merasakan apa yang Setiya rasakan, kehilangan suami tercinta dengan tiba-tiba.

Sudah tiga bulan, Likur menghilang begitu saja, tanpa sedikitpun berita yang Setiya terima. Bertanya kepada siapa pun ia tidak tahu. Di kota tempat dia tinggal ia tidak memiliki sanak saudara, hanya suami dan kedua anaknya yang ia punya. Apalagi ia tidak tahu sama sekali tempat kerja suaminya, bahkan pekerjaan suaminya pun ia tidak tahu. Setelah sebulan Likur menghilang Setiya memutuskan kembali ke rumah reotnya. Memang dia tidak tahu harus mencari Likur, yang ia lakukan sejak tiga bulan lalu adalah menangis dan berdoa.

“Ibu… mungkin Ayah pulang ke rumah BTN kita? Yuk kita kesana, Rona kangen banget sama teman-teman disana !”

Setiya hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya.

“Rumah itu bukan milik kita lagi sayang, kita hanya menumpang sebentar saja di sana. Rumah reot seperti yang Kak Roni bilang inilah rumah kita. Kalau ayah pulang nanti, pasti akan kembali ke sini. Kamu ngerti kan maksud ibu, Rona!”
“Oh, gitu ya, Bu! Tapi kapan Ayah pulangnya?”
“Ermm… sabar ya, sayang! Ayah pasti pulang!”

Sabar. Hanya itulah yang mampu Setiya lakukan. Hati kecilnya seringkali mengatakan, bahwa suami tercintanya akan kembali, karena ia sangat yakin bahwa suaminya itu sangat mencintai dirinya, sama seperti rasa yang ia miliki di dalam hatinya.

***

Tiga Bulan Lalu

Tiga buah mobil Patroli berhenti di depan bangunan bertuliskan “ Salon Monalisa”. Tanpa membuang waktu, beberapa orang berseragam polisi  dengan sigap mengepung dan menyerbu ke dalam bangunan yang mejadikan nama salon sebagai kedok untuk kegiatan panti pijat yang melanggar hukum negara dan juga agama. Malang bagi Likur yang sedang menyapu krim urut di tubuh Tante Jamilah, ikut diciduk bersama Tante Mona dan belasan pekerja di tempat haram itu. [*]

 Surabaya, 30 Desember 2010.
*Cerpen ini pernah dimuat dalam buku Antologi Rumah Air terbitan Leutika Prio tahun 2011.

2 komentar:

  1. :)
    Kerennn...menyentuh dan mengandung pesan moral.
    Kebahagiaan tidak selamanya di ukur dari banyaknya harta yang kita miliki. Betul ndak? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini terinspirasi saat saya main ke mall, kok banyak laki-laki yang pada mijetin ibu-ibu di sebuah pijat refleksi. trus sampe rumah terus deh otak main, teus ditulis, jadilah cerpen ini :)

      Hapus