Rabu, 20 Februari 2013

Cerpen #Oseng Oseng



Oseng Oseng Mercon dari Masa Lalu


Telanjang, tanpa selembar benang menutupi tubuhku. Hanya debu, lumut, dan perdu kecil yang menutupi. Apa yang terjadi denganku? Padahal baru semalam aku tertidur, mengapa tubuhku ditumbuhi lumut begini? Ada apa dengan bajuku, mengapa semuanya rapuh? Aku sangat panik saat terbangun dari tidur pada suatu pagi yang masih berselimut dingin di tengah hutan lebat yang riuh dengan suara kicauan burung.
Aku bersihkan tubuhku di sebuah mata air, tidak jauh dari tebing tempatku semalam terlelap. Dingin airnya menyegarkan badanku, juga menyegarkan ingatanku yang tadi malam merasa begitu ketakutan ketika ada beberapa orang ingin menganiaya diriku. Mereka adalah anak buah seorang rentenir yang ingin menagih hutang bapakku, namun Bapak sudah beberapa hari menghilang, pergi entah kemana tanpa memberitahu sepatah kata pun kepadaku, dan anak buah rentenir itu ingin menjadikan aku sebagai sandera. Maka saat mereka ingin menangkapku, aku pun berlari menuju sebuah hutan di sebelah barat dusunku, lalu aku bersembunyi dibalik tebing yang di bawahnya ada ceruk seperti gua. Lantaran lelah, rupanya aku telah tertidur nyenyak semalaman.
Selesai mandi, aku gunakan beberapa lembar daun pisang sebagai penutup tubuhku, berharap bertemu dengan seseorang untuk meminta pertolongan. Aku berjalan keluar hutan, semakin keluar, kudengar deru suara-suara aneh yang selama ini tidak pernah kudengar. Seperti suara auman, berderu, tapi kutahu itu bukan suara harimau, atau binatang buas lainnya. Suara apakah itu gerangan? Hatiku bertanya. Aku pun semakin keluar hutan yang lebat, dan suara itu semakin nyaring terdengar. Suara yang semakin bising, tiada henti.
Aku telah berada di luar hutan, ketika mataku terperangah dengan kehadiran benda-benda bergerak yang berseliweran di depanku. Benda apakah yang dinaiki orang-orang itu? Lalu sejak kapan ada jalan bertanah keras seperti batu ini? Aneh, berada di mana aku sekarang ini? Batinku tidak henti bertanya penuh rasa heran.
Masih dengan beberapa lembar daun pisang yang menutup tubuhku, aku berjalan dengan kaki telanjang di atas tanah keras yang panas. Aku berjingkat-jingkat sambil terus melangkah di tepi jalan. Orang-orang di dalam benda aneh yang mereka tumpangi itu menebarkan senyum ke arahku. Mungkin mereka mengira aku orang tidak waras hanya menutupi tubuh dengan selembar daun pisang.
Aku mulai melihat keganjilan itu kembali, pakaian yang orang-orang itu kenakan sangat asing, dan belum pernah kulihat sebelumnya. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, berada di mana aku? Mengapa segalanya berubah hanya dalam waktu satu malam?
”Heh bocah, kemana pakaian-mu? Kamu tidak malu telanjang di pinggir jalan?” Ada seorang lelaki tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangku tanpa kusadari kedatangannya mendekatiku.
“Pakaianku hilang, Paman. Aku pun tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi?”
Lalu lelaki itu menawarkan aku untuk ikut dengannya. Katanya, ia akan memberikan baju anaknya yang berumur 10 tahun yang seumuran denganku.
“Kamu tinggal dimana?” tanya lelaki itu saat aku mengiringi langkahnya menuruni tebing landai di tepi hutan yang menuju ke rumahnya.
“Aku tinggal di Dusun Waluh, Paman.”
“Dusun Waluh?”
“Iya, Paman tahu tempat itu?”
Ternyata lelaki itu tidak pernah mendengar nama tempat tinggalku. Tanpa banyak berkata apa-apa lagi ia mengajakku untuk terus berjalan menuju ke rumahnya yang berada di tepi sawah padi yang masih hijau.
“Ayah, bawa anak gembel dari mana ini?” Anak lelaki yang tampaknya memang seumuran denganku itu menyambut kehadiran kami di depan pintu rumah.
“Husss… jangan tidak sopan dengan tamu Ayah? Segera ambilkan baju dan celana kamu untuk anak ini. Lalu temani dia sebentar, ayah mau menghangatkan makanan di dapur.”
Lelaki itu pun menyuruh aku duduk di teras rumahnya. Aku duduk di balai-balai bambu sambil menutupi tubuhku dengan daun pisang yang tadi aku bawa. Angin di pinggir sawah berhembus lembut menerpa wajahku. Sejuk sekali udara di tempat ini, aku jadi merasa mengantuk diterpa angin sepoi-sepoi.
“Heh, kamu ngantuk ya?!” aku terkejut dan gelagapan ketika anak lelaki bertubuh tambun itu tiba-tiba datang menyapaku. Aku pun hanya mengangguk saja melihat wajah tidak ramahnya.
“Ini pakai bajuku!” Anak itu melemparkan sepasang pakaian miliknya kepadaku. Aku pun segera memakainya.
“Dasar goblok, pakai baju saja tidak becus. Terbalik itu bajunya.” Aku kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh anak itu.
“Terbalik bagaimana?” tanyaku.
“Kamu tidak pernah pakai baju memangnya? Yang ada gambar Doraemon-nya itu di depan.”
Aku pun menuruti ucapan anak itu. Kubuka kembali baju berwarna putih itu, lalu kupakai kembali dengan bagian gambar berada pada bagian depan.
“Kamu dari mana sih, kok bisa ikut dengan Ayah-ku?”
“Aku dari Dusun Waluh.”
“Dusun Waluh? Yang aku tahu di sekitar sini tidak ada yang namanya Dusun Waluh. Yang ada cuma Desa Wonosari, Desa Karangmojo, Semin, Semanuk, Ngawen, atau kabupaten Bantul. Lalu bagaimana kamu bisa sampai ke sini?”
“Semalam aku dikejar-kejar orang jahat, lalu aku lari ke hutan, dan aku tidur di dalam hutan. Saat aku bangun pakaianku sudah hilang, lalu aku bertemu dengan Ayah kamu.”
“Kamu sekolah? Kelas berapa?”
“Sekolah itu apa?”
“Hah? Sekolah saja kamu tidak tahu? Ndeso sekali kamu ini…”
Aku hanya terdiam dibilang kampungan oleh bocah di depanku. Aku sendiri masih bingung dan tidak mengerti mengapa aku tersesat sejauh ini. Seingatku semalam aku hanya lari tidak seberapa jauh dari rumahku.
“Siapa yang sedang nembang itu di dalam?”
Tanyaku saat kudengar alunan musik dan suara orang sedang bernyanyi.
“Itu suara tivi. Kamu punya tivi di rumah?”
“Apa itu tivi?”
“Wah bener-bener ndeso banget kamu ini. Ayolah masuk kalau kamu mau nonton tivi.”
Aku pun masuk ke dalam rumah anak itu. Aku terpegun melihat benda yang bernama tivi. Benda bergambar dan mengeluarkan suara. Aku benar-benar takjub melihat benda bergambar warna warni dan mengeluarkan suara itu. Di dusunku tidak ada satu orang pun yang memiliki benda ajaib seperti itu.
Ndeso… ndeso… ndeso…” bocah itu terus mencemooh aku yang tengah  terkagum-kagum sambil meraba-raba permukaan tivi yang terbuat dari kaca.
“Andi… ayo ajak teman kamu makan!” Teriak Paman dari dapur saat aku masih menonton tivi dengan bocah yang ternyata bernama Andi.
“Ayo makan…” Ajak Andi setelah mematikan tivi yang masih membuatku penasaran.
“Oh iya, siapa nama kamu?” Tanya Paman saat aku sudah duduk di meja makan bersama mereka.
“Nama saya Warno.”
“Namamu ndeso sekali.” Celetuk Andi lagi mencemooh aku.
“Andi…jaga ucapanmu!”
Andi langsung diam seribu bahasa saat ayahnya menjentik telinganya.
“Ayo Warno ambil lauknya, kamu suka masakan pedas, kan?”
“Iya saya suka Paman. Tapi ini masakan apa namanya Paman? Saya belum pernah melihatnya.”
“Ini namanya oseng-oseng mercon. Isinya tetelan sapi dicampur dengan cabe yang lumayan banyak dan rasanya sangat pedas. Makanya dinamakan oseng-oseng mercon, karena rasa pedasnya seperti meledak-ledak di dalam mulut kita.”
“Kalau di kampung saya hanya orang-orang kaya saja yang bisa makan daging sapi, jadi Paman ini termasuk orang kaya ya?”
“Kaya dari Hongkong…” Celetuk Andi di tengah obrolan aku dan Paman. Paman hanya melotot ke arah anaknya itu.
Aku pun akhirnya menikmati oseng-oseng mercon itu. Rasanya memang pedas sekali, tapi  untungnya aku sudah terbiasa memakan masakan sepedas itu. Sebelum Si Mbok meninggal, setiap pagi sebelum berangkat ke sawah membantu Bapak ia sering memasakan aku nasi goreng yang rasanya sangat pedas yang akhirnya membuatku terbiasa memakan makanan sepedas apapun. Aku sangat menikmati sekali rasa daging sapi yang rasa pedasnya sampai membuat aku keluar keringat.
“Ayo tambah nasinya…” Suruh Paman. Aku pun yang begitu berselera makan dengan oseng-oseng mercon menambahkan sesendok besar nasi putih.
“Doyan apa kelaparan sih kamu?” celetuk Andi lagi.
“Andiii…” Ucap Paman kembali memarahi Andi.
Oseng-oseng mercon itu benar-benar nikmat menjadi teman makan nasi, rasa pedasnya membuatku berselera untuk terus menikmatnya sampai perutku benar-benar kenyang tak terkira.
“Ibunya Andi juga berjualan oseng-oseng mercon di pasar. Selepas makan nanti kamu ikut saja Andi ke pasar.”
“Baik Paman…”
Sepanjang perjalanan menuju pasar Andi tidak henti mengintrogasi asal-usulku. Bahkan ia tidak henti menyebut-nyebut ‘ndeso’ kepadaku. Apalagi saat kutanya apa nama benda beroda empat yang bisa bergerak itu.
“Mobil aja kamu nggak tahu, benar-benar ndeso!” Ucap Andi membuat aku semakin bingung akan berada di mana aku sebenarnya. Mengapa yang ada di sekelilingku semua serba asing, dan tidak pernah kulihat maupun kudengar selama ini.
Di salah satu sudut pasar seorang wanita paruh baya yang sedang berjualan oseng-oseng mercon kulihat kedai makannya tidak henti dikunjungi pembeli. Ia adalah Ibunya Andi. Para pembeli yang makan di warung itu terlihat lahap sekali sambil sesekali menyeka keringat yang keluar disebabkan rasa pedas makanan yang paling lezat yang pernah aku makan.
“Ini uang, pergilah jajan bersama Andi.” Ucap Bibi menyodorkan dua lembar kertas yang disebutnya sebagai uang. Sejak kapan ada uang berbentuk kertas? Yang kutahu selama ini uang itu berbentuk koin berwarna keemasan. Karena jika bertanya macam-macam aku tahu Andi akan mengejekku, maka aku lebih memilih diam dan mengikuti bocah yang seumuran denganku itu menuju ke dalam pasar.
“Kamu pernah makan ice cream?”
Tanya Andi saat kami berhenti di sebuah warung yang menjual makanan. Aku hanya menggeleng. Lagi-lagi dengan kata “ndeso” Andi mengejekku lagi. Lalu ia meminta uangku, dan membelikan aku sebuah makanan bernama ice cream. Enak sekali rasa ice cream berasa coklat itu. Dingin dan manisnya membuatku tidak berhenti untuk menjilatnya. Sisi lain hatiku masih saja dilanda kebingungan, ada dimana sebenarnya aku ini? Sepertinya aku sudah masuk ke zaman yang peradaabannya sudah sangat maju, sehingga segala sesuatu yang aku temui serba baru, dan serba tidak pernah aku tahu. Apakah aku sedang bermimpi? Tanyaku di dalam hati sambil terus menikmati sepotong ice cream.
Menjelang senja aku kembali ke rumah Andi bersama Ibunya. Di rumah Paman sudah menunggu. Ia menjelaskan bahwa usahanya untuk mencari alamat tempat tinggalku tidak berhasil. Tidak ada satu orang pun yang ia tahu keberadaan Dusun Waluh.
“Apa Paman pernah mendengar nama Patih Gajah Mada?”
“Patih Kerajaan Majapahit maksudmu?”
“Apakah Paman pernah bertemu dengannya?”
“Bagaimana Paman bisa bertemu dengannya, sekarang kan tahun 2012, sedangkan Gajah Mada itu hidup pada zaman kerajaan majapahit, kalau tidak salah tahun 1331 masehi.”
“Tapi sebulan yang lalu ia datang ke Dusun Waluh, bahkan aku melihatnya dari dekat sekali. Patih Gajah Mada itu baik sekali Paman, semua penduduk di dusunku sangat menyanjungnya. Aku pun kalau sudah besar ingin seperti Patih Gaja Mada.”
Kulihat Paman hanya termenung mendengar apa yang barusan aku katakan.
“Kenapa Paman diam seperti itu?”
“Ah, tidak apa-apa. Begini saja, besok kita ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan kamu, karena Paman nanti tidak mau disalahkan.”
“Polisi itu apa, Paman?”
“Ermm… Besoklah kamu lihat sendiri. Sekarang pergilah masuk ke dalam pergi mandi.”
“Paman, boleh tidak nanti aku makan oseng-oseng mercon lagi. Aku ketagihan ingin makan lagi, Paman.”
“Oh, boleh! Mintalah dengan Bibi di dalam, Paman mau pergi ke mesjid dulu hari sudah hampir maghrib.”
Selesai mandi, aku menemui Bibi di dapur dan mengutarakan keinginanku untuk makan oseng-oseng mercon. Bibi pun menyediakan aku sepiring nasi dan semangkuk oseng-oseng mercon.
“Bisakah Bibi memberitahu saya bagaimana cara memasak oseng-oseng mercon? Jika nanti saya sudah pulang saya ingin meminta Bapak untuk memasaknya.”
“Gampang saja kok, bahan dasarnya, tetelan sapi, dimasak dengan bumbu yang ditumis, seperti bawang putih, kemiri, dan yang terpenting cabe rawit. Perbandingan cabe dengan daging 10 banding 2, artinya 10 kilo daging 2 kilo cabe rawit. Sebelumnya daging  direbus terlebih dahulu. Lalu masukan ke dalam bumbu yang ditumis, setelah itu masak sampai minyak dari daging itu keluar. Begitu saja. Mudah, kan?”
“Iya, mudah sekali cara memasaknya. Nanti saya suruh Bapak untuk memasakanya.”
Selepas makan aku menonoton tivi bersama Andi. Saat Bibi melihat aku mengantuk ia menyuruhku tidur di kamar Andi. Baru saja beberapa menit merebahkan tubuh di tempat tidur, aku merasakan hawa dingin menyelubungi tubuhku. Aku seperti dikurung di dalam bongkahan es yang teramat dingin. Tubuhku menggigil dan bergetar-getar. Kemudian seperti ada sesuatu yang lepas dari tubuhku, halus, seperti angin melayang di udara meninggalkan sesosok jasad seeorang anak kecil yang sedang meringkuk di atas tempat tidur yang tidak lagi bernafas. Kusaksikan dengan airmata berurai saat jasad itu tiba-tiba menjadi keriput, lapuk, dan menyisakan tulang belulang berserakan di atas tempat tidur. Saat seorang anak kecil bertubuh tambun masuk ke kamar itu, ia langsung menjerit melihat tulang belulangku berserakan di atas kasurnya. Ia langsung memanggil lelaki berkain sarung dan wanita paruh baya untuk melihat ke dalam kamar.
Astagfirullahaladzim... benar dugaanku Bu, bocah itu ternyata berasal dari masa lalu, lihatlah kepergiannya hanya menyisakan tulang belulangnya saja.”
“Lalu bagaimana, Pak? Apa yang harus kita lakukan?”
“Tenang Bu. Begini saja, kita kubur tulang belulang ini di hutan, kita tidak perlu bercerita kepada siapapun perihal ini, bisa geger nanti jika orang lain tahu. Andi simpan rahasia ini ya?”
Bocah kecil yang bernama Andi itu pun hanya mengangguk sambil menempelkan tubuhnya kepada ibunya dengan wajah yang ketakutan memandang ke arah tulang belulangku . Kemudian tulang belulangku di masukan ke dalam kain putih oleh lelaki yang berhati baik dan mulia itu. Lalu ia pergi seorang diri ke hutan yang tidak seberapa jauh dari rumahnya, dan ia mengubur jasadku di sana. Aku kembali meneteskan airmata menyadari bahwa kini aku sudah berada di dunia lain dan hidup seorang diri.
“Hai bocah, kenapa kamu menangis di situ? Ayo ikut aku…”
Sesosok berpakaian serba putih yang seperti aku melayang-layang di udara tiba-tiba datang menyapaku.
“Siapa kamu? Kamu mau membawa aku kemana?”
“Aku juga sama seperti kamu, ciptaan Allah Ta’ala. Aku bertugas mengantar anak-anak baik seperti kamu untuk masuk ke dalam surga.”
“Wah, benarkah? Apakah di sana nanti aku bisa mendapatkan teman dan orang-orang yang akan menyayangiku?”
“Tentu saja, banyak anak-anak seusia kamu di surga. Kamu bisa bermain sepuas hati.”
“Apakah aku juga bisa memakan makan kesukaanku?”
“Memang apa makanan kesukaanmu?”
“Oseng-oseng mercon.”
“Aneh namanya, tapi semua yang kamu inginkan pasti tersedia untukmu.”
“Kalau begitu aku mau ikut kamu ke Surga dan pastikan aku bisa makan oseng-oseng mercon di sana ya?”
Sesosok berwajah rupawan itu pun memegang lenganku dan mengajakku terbang ke langit menuju surga yang sudah dijanjikan sebagai tempat tinggal terakhirku.[]

Jogja, Februari, 2012.

*Cerpen ini terdapat dalam buku "Mencari Gadis Galendo" terbitan Leutika Prio tahun 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar