Senin, 11 Juni 2012

Cerpen #Idol

SEDANG INGIN BERCINTA      


      Di pelataran kampus Universitas Pancasila rintik-rintik air hujan yang bening mulai turun menyimbah rerumputan hijau. Ivan jadi membatalkan niatnya untuk keluar dari gedung kampus. Ia tidak mau mengambil resiko di tengah jalan terguyur hujan. Tubuhnya terlalu rentan dengan penyakit, ia tidak suka kedinginan. Dingin membuatnya terkena flu, dan itu hal yang paling ia tidak suka. Ia tidak mau hidungnya tersumbat, atau tenggorokkannya berlendir, apalagi sampai demam. Ia tidak mau suara merdunya terganggu atau berkurang sedikitpun, ia mau agar pita suaranya tetap baik, agar saat ia bernyanyi tidak sumbang. Menyanyi adalah hal yang teramat penting baginya. Mimpinya menjadi superstar belum bergeser sedikitpun dari impiannya, sejak dulu lagi, saat pertama kali ia dengan gugupnya bernyanyi di depan teman sekelasnya waktu sekolah dasar. “Kamu punya bakat menjadi seorang penyanyi Van, jangan sia-siakan kebolehanmu, suaramu bagus, merdu didengar.” Mendapat pujian dari gurunya pulang sekolah Ivan merengek minta dibelikan gitar kepada ibunya, ia ingin belajar musik, ia ingin menjadi penyanyi terkenal. “Menabunglah mulai sekarang, sisakan uang jajanmu, nanti Ibu tambahkan sedikit.” Ivan terpaksa akur dengan keinginan ibunya, merelakan kegembiraannya jajan di kantin sekolah setiap bel istirahat berbunyi demi memiliki sebuah gitar, ia sadar keluarganya bukan orang mampu, ia harus menabung untuk mendapatkan keinginannya. Selang tiga bulan, Ivan pun berhasil memiliki sebuah gitar, bukan main bahagianya ia, memeluk erat gitar yang baru saja diterima dari tangan ibunya. Sejak saat itu,  ketika Ivan berusia 10 tahun ia sudah mulai pandai bermain gitar secara otodidak. Memainkan lagu-lagu band di indonesia, seperti Radja, Peterpen, atau Dewa 19. Ia sudah tidak gugup lagi bernyanyi di depan teman-teman sekolahnya, atau bernyanyi pada acara hiburan di sekitar rumahnya. Kepandaiannya bernyanyi dan bermain gitar semakin hari kian mengalami kemajuan, dan hingga kini saat bergelar seorang mahasiswa, dunia tarik suara sudah menjadi dunia yang sehati dengannya, hanya saja  impiannya ingin menjadi seorang artis terkenal belum juga kesampaian.

Menyadari hujan yang turun semakin deras, Ivan beranjak dari lobi kampus. Perutnya menagih jatah makan siang. Melalui lorong kampus ia menuju kantin, dan memesan sepiring nasi putih beserta lauk kesukaannya, ayam goreng dan capcay.
“Tumben makan di kampus, Van?” Seorang gadis bertubuh tambun menghampiri Ivan. Ia duduk persis sejurus di depannya.
“Nunggu hujan reda kelamaan, perutku jadi laper. Oh iya, kamu nggak makan, Gin?”
“Aku sudah pesan nasi goreng. Hujan-hujan begini aku pengen makan yang panas-panas.”
“Kalau aku sih, kalau nggak terpaksa banget, nggak akan pernah makan yang namanya nasi goreng, minyaknya itu lho…”
“Duh, yang jaga suara…”
“Bukan itu aja, Gin, nasi goreng itu menurut riset kesehatan adalah makanan yang tinggi kolesterolnya, bahaya lho kalau sering dikonsumsi.”
“Oh… pantesan badanku makin hari makin melar begini, padahal setiap hari aku sudah minum sliming tea dan jamu pelangsing, ternyata nggak ada perubahan sama sekali. Rupanya karena aku sering makan nasi goreng ya, pantesan…”
“Kan aku pernah bilang, kalau mau diet itu yang intensif, bukan cuma asal minum obat pelangsing saja, kalau nggak ada hasilnya sama saja dengan pemborosan. Mending kamu langsung saja ke tempat terapi pakar diet, walaupun mahal sedikit yang penting hasilnya memuaskan.”
“Iya juga sih, aku coba deh nanti. Sudah bertahun-tahun aku kepingin kaya yang lainnya, punya bentuk badan yang ramping dan nggak dibilang endut lagi. Mudah-mudahan bisa ya, Van?”
“Pasti bisa, aku jamin 100 persen…”
“Iya Van, aku kepingin badanku seperti anak baru di kampus kita itu, badannya bagus banget. Kata temen-temen cowok, bentuk badannya kayak gitar spanyol, seksi banget!”
“Siapa sih yang lagi kamu omongin?’
“Si Rossa, anak  Bandung, yang baru pindah seminggu lalu itu, masak kamu nggak tahu?”
“Yang mana ya?”
“ Regina… kamu di sini rupanya?”
Seorang gadis yang rambutnya ikal mayang itu, sudah berdiri tepat diantara Regina dan Ivan, dialah Rossa yang baru saja dibicarakan Regina.
Ivan yang sedang menikmati makan siang melemparkan senyum kepada Rossa setelah menawarinya makan. Benar yang seperti dikatakan Regina, gadis yang bernama Rossa itu memang memiliki bentuk tubuh yang seksi, wajahnya pun sangat manis, ada sepasang lesung pipi yang timbul saat ia tersenyum. Ivan merasakan ada bagian jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya berdekatan dengan mojang Bandung itu. Terlebih lagi wajahnya mengingat ia pada seseorang di masa lalu.
 “Hujannya sudah reda, yuk kita pulang!” Ucap Regina saat melongok ke luar kantin setelah puas ngobrol ngalor ngidul dengan Ivan dan Rossa sambil menikmati sepiring nasi goreng.
“Kamu pulang kemana, Sa?” tanya Ivan yang hari ini merasa gembira sekali berkenalan dengan Rossa yang orangnya memang enak diajak ngobrol.
“Kenapa, kamu mau nganterin, Van?” Celetuk Regina. Ivan cuma senyum.
“Aku naik kereta ke Pasar Minggu, Van. Kamu?”
“Aku juga naik kereta, tapi ke Depok. Mending bareng aja ke stasiun yuk!”
“Ehem.. ehem... ada yang lagi pedekate, nih!” Regina kembali mengusik Ivan dan Rossa. Keduanya hanya tersenyum-senyum saja.

      Setelah menemani Regina di halte hingga mendapat bus jurusan blok M, Ivan dan Rossa berjalan beriringan menuju stasiun. Ivan semakin menyadari jantungnya tidak henti berdetak berada si samping gadis cantik yang baru saja dikenalnya. Sudah lama sekali hatinya tidak merasakan getar-getar semacam itu, ia kembali teringat dengan seseorang yang beberapa tahun lalu pernah mewarnai hidupnya. Gadis itu bernama Dera. Ia adalah adik kelasnya waktu SMA yang menjadi cinta pertamanya.
“Aku semakin sadar, sesadar-sadarnya, kalau kamu itu lebih mencintai dunia musik ketimbang aku.”
“Jangan menyudutkan aku seperti ini Ra, aku sayang kamu, kamu jangan ragu lagi akan ketulusan cintaku ke kamu.”
“Kamu bohong, Van, buktinya kamu lebih memilih mengikuti audisi itu ketimbang datang di acara ulang tahunku. Kamu masih mau mungkir juga? Apa perlu aku ungkit sikapmu selama ini yang lebih mementingkan hobimu ketimbang aku pacarmu sendiri?”
“Dera, dengar aku… apa kamu tidak ingin punya pacar yang sukses di bidang tarik suara? Kamu harus memahami impianku sejak kecil ini, aku ingin jadi seorang penyanyi profesional, aku ingin buktikan kepada orang tuaku bahwa aku bisa meraih cita-citaku.”
“Oh, jadi itu keinginanmu. Kenapa tidak kamu katakan dari dulu, kalau kamu ini ingin jadi artis? Agar kamu tahu bahwa aku tidak ingin sama sekali punya pacar seorang artis. Sekarang saja belum jadi artis kamu sudah jarang punya waktu buat aku, apalagi nanti kalau kamu sudah terkenal, untuk ketemu kamu saja aku harus bikin janji sama manager kamu. Maaf, Van, kita sudah tidak cocok lagi, aku minta putus, dan aku doakan agar kamu jadi artis terkenal.”
“Deraa…”
     Ivan tidak mampu lagi menahan Dera untuk pergi meninggalkannya, memutuskan cinta yang telah terjalin selama setahun lebih. Padahal hatinya benar-benar mencintai adik kelasnya yang pintar dan menjadi bintang pelajar di sekolah. Ia akui, selama ini waktunya untuk hobinya memang selalu ia utamakan ketimbang perhatian yang ia berikan kepada Dera. Wajar saja jika akhirnya Dera lebih memilih memutuskan cintanya, ia bukanlah orang yang tepat untuk menerima kehidupan Ivan yang sejak kecil diwarnai oleh kecintaannya kepada dunia musik. Sejak saat itu, hingga memasuki bangku kuliah, Ivan belum lagi mendapati pengganti Dera. Pengalaman itu membuatnya lebih selektif untuk memilih pacar yang benar-benar mau menerima dirinya apa adanya.
“Kok diam aja, Van?” Rossa mengusik lamunan Ivan yang berjalan di trotoar bersamanya. “Kamu nge-kos atau tinggal sama orang tua, Van?”
“Aku tinggal sama orang tua, kamu sendiri?”
“Aku tinggal sama Om dan Tante”
“Orang tuamu?”
“Mereka ada di Bandung, tapi tidak tinggal bersama lagi, makanya aku lebih memilih ikut keluarga Tante di sini, supaya aku tidak dinilai lebih menyayangi Papa atau Mama. Perceraian mereka membuat aku sedih sekali, Van.”
“Oh, maaf ya, aku turut prihatin dengan keadaan keluargamu.”
“Terima kasih, Van. Seharusnya aku tidak cerita ini, betapa bodohnya aku cerita masalah keluarga sendiri sama orang yang baru berapa menit aku kenal.”
“Nggak apa-apa kok, Sa. Aku malah senang kalau ada orang yang mempercayai aku.”
“Jangan cerita kepada siapa-siapa ya, Van, tentang masalah keluargaku ini.”
“Iya, tenang aja Sa, aku bukan tipe orang yang suka ngegosip. Aku juga sebenarnya bukan orang yang gampang dekat dengan orang lain lho, kecuali…” Ivan menggantungkan ucapannya.
“Kecuali apa, Van?”
“Kecuali orang itu semanis kamu…”
“Ah, ada-ada aja kamu, Van!” Pipi Rossa tampak bersemu merah mendengar pujian Ivan. Tak dipungkiri Ivan merasakan ada sinyal-sinyal rasa yang mengalir di dalam hatinya kepada gadis yang baru saja dikenalnya itu. Kelembutan, keayuan, dan keramahan Rossa telah menawan hatinya untuk jatuh cinta lagi.
“Van, tuh keretamu sudah datang.” Ucap Rossa saat di peron 1 dari arah selatan muncul kereta ekonomi jurusan Bogor.
“Aku naiknya nanti saja, setelah kamu dapat kereta. Kamu nggak keberatan kan aku temani?”
“Oh gitu… ya nggak apa-apa, aku malah senang ada teman ngobrol, biar nggak boring.”
“Aku juga senang, udah lama nggak punya teman ngobrol,”
“Lho, Regina? Bukannya dia itu teman dekat kamu?”
“Iya juga sih, kadang-kadang. Tapi aku memang nggak punya banyak teman, selama ini aku asik menekuni hobiku saja.”
“Hobi apa, Van?”
“Nyanyi…”
“Wah, mau dong denger kamu nyanyi, Van.”
“Serius? Tapi suaraku nggak bagus-bagus amat.”
“Emang sejak kapan kamu suka menyanyi?”
“Sejak kecil, waktu SD, dan alhamdulillah aku pernah menang beberapa lomba menyanyi.”
“Wah, hebat kamu ya, kenapa nggak coba ikutan lomba nyanyi yang nasional aja, kan banyak lomba menyanyi di tivi. Ikutan aja, Van. Siapa tahu menang, terus kamu jadi artis terkenal…”
“Aamiin.. Memang itu impian aku sejak kecil. Aku ingin buktikan kepada Ibuku bahwa usahanya mendukung aku bernyanyi sejak kecil tidak sia-sia.”
“Oh, jadi hobimu ini karena dukungan orang tuamu ya?”
“Iya, saat aku kecil sampai sekarang ibuku selalu menemani kemana saja aku pergi mengikuti lomba menyanyi, ia yang mengurus semua keperluanku, seperti seorang manager begitu..”
“Kalau pacarmu sendiri bagaimana, apa dia nggak men-support kamu?”
“Pacar? Aku lagi nggak punya pacar…”
“Masak sih, aku nggak percaya kalau kamu nggak punya pacar.”
“Dulu sih ada, itu juga waktu SMA, udah lama aku jadi jomblo nih…”
“Ah, aku nggak percaya…”
“Yeee… Kok gitu?”
Suara raungan kereta dari arah utara membelah obrolan Ivan dan Rossa. Keduanya bangkit dari duduknya di lobi stasiun. Sebuah kereta komuter merayap dan berhenti di peron 2.
“Van, aku duluan ya…” Ucap Rossa di bibir pintu kereta.
“Kok kayaknya perasaanku nggak enak kalau nggak nemenin kamu sampai ke Pasar Mingu.”
“Maksud kamu apa, Van?”
“Keretanya penuh begini, takut ada penumpang yang cari kesempatan ke kamu?”
“Aku nggak gerti maksud kamu, Van?”
“Nggak apa-apa ya aku temani kamu sampai Pasar Minggu?”
“Nggak usah, Van. Aku nggak mau lho ngerepotin kamu.”
“Aku nggak sama sekali direpotin kok, boleh ya Sa?”
“Ya sudah deh, terserah kamu aja.”

     Ivan pun menguntit langkah Rossa memasuki kereta yang cukup sarat penumpang itu. Keduanya berdiri di tengah sambil berpegangan dengan ring yang bergelantungan yang memang disediakan untuk penumpang yang tidak kebagian tempat duduk.
“Maksud kamu penumpang cari kesempatan tadi itu apa, Van?” Tanya Rossa kepada Ivan saat kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Universitas Pancasila.
“Kalau kondisi kereta penuh seperti ini, biasanya banyak lelaki yang usil sama penumpang perempuan, makanya beberapa kereta disediakan gerbong khusus wanita, untuk menghindari gangguan atau boleh disebut pelecehan terhadap kaum wanita.”
“Berarti lain kali aku harus naik kereta yang ada gerbong khusus untuk wanitanya, gitu ya, Van?”
“Nggak perlu juga sih, kan mulai sekarang sudah ada aku yang akan menemani kamu…”
“Ah, bisa aja kamu, Van…”
     Rossa Nampak tersenyum simpul setiap kali Ivan menggurauinya, namun senyumnya ia sembunyikan dari tatapan Ivan yang berdiri bersebelahan dengannya, ia membuang pandangan keluar jendela kereta yang mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun Universitas Pancasila. Sejujurnya sejak pertama bertemu Ivan di kantin tadi, Rossa begitu saja tertarik dengan sikap dan kepribadian Ivan. Lelaki berkulit hitam manis itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah dicintainya di masa lalu. Namanya Sandy. Seorang lelaki penyayang dan romantis, yang pernah memberikan segenap cinta kepadanya. Rossa mengenal Sandy pada acara amal yang diadakan ikatan BEM sekota Bandung. Melihat gelagat Sandy yang begitu penyayang kepada anak-anak yatim dari panti asuhan, Rossa merasa begitu tersentuh. Keramahan dan kebaikan hati Sandy membuat Rossa jatuh hati pada pandangan pertama.
“Kamu suka anak-anak ya?” Tanya Rossa memulai obrolan saat sedang mempersiapkan paket hadiah di posko panitia.
“Mereka itu seumpama pelita, tanpa mereka dunia ini tak bercahaya. Makanya malaikat-malaikat kecil itu harus selalu disayangi dan diberi perhatian, agar mereka selalu ceria.”
“Wah, cara bicara kamu Kak Seto banget, deh?”
“Hehehe… Aku memang pengagum Kak Seto kok. Malah aku kepingin jika suatu hari kita bikin baksos seperti ini lagi, aku akan mengusulkan untuk mengundang Kak Seto, dan beberapa artis cilik yang pastinya akan menghibur anak-anak panti asuhan.”
“Mudah-mudahan saja hal tersebut bisa terwujud ya, pasti meriah sekali acaranya nanti.”
“Aamiin…”
Tanpa saling berkenalan nama, Rossa dan Sandy saling dilingkupi oleh keakraban dan keceriaan membagi-bagikan bingkisan yang telah disediakan untuk seratus lebih anak-anak malang yang hidup tanpa belaian kasih sayang orang tua kandung mereka. Ada seorang anak balita yang begitu lengket dengan Sandy, sampai ia tidak mau lepas dari pelukan Sandy.
“Ayu, Om pulang dulu ya, kapan-kapan Om datang lagi menemui Ayu di sini.”
“Nggak mauuu… Ayu mau ikut Om…”
“Lho, kenapa mau ikut Om? Di sini kan banyak teman-teman Ayu?” Ucap Rossa yang duduk di samping gadis cilik  yang sedang memeluk Sandy dengan eratnya.
“Ayu kan sayang sama Om… Jadinya Ayu mau ikut Om aja…”
 Rossa dan Sandy hanya tersenyum mendengar celoteh jenaka Ayu. Kalau tidak dibujuk oleh salah seorang pengasuh panti asuhan, pasti Ayu memang tidak mau melepaskan Sandy.
“Om balik dulu ya, Ayu jangan nakal-nakal, harus sayang sama teman-teman. Dadah Ayu…”
“Dadah Om… Jangan lupa datang lagi ya, Om?”
“Iya, Om pasti datang lagi…”
Tanpa terasa ada bulir air mata yang bergulir dari kelopak mata Rossa menatap wajah Ayu yang begitu merasa sedih berpisah dengan Sandy.
“Tissue…” Sandy menyodorkan sehelai tissue kepada Rossa.
“Semoga pengalaman hari ini bisa membuat kita lebih bisa menghargai arti kehidupan, dan menubuhkan jiwa kemanusian di hati kita agar bisa lebih banyak lagi berbagi kepada masyarakat yang bernasib kurang beruntung.”
Rossa hanya mengembangkan senyumnya kepada sosok lelaki berambut ikal dan berkulit putih di depannya, rasa simpatik kepadanya tak dapat ia pungkiri lagi.
“Maaf, boleh tahu, nama kamu siapa ya? Siapa tahu suatu hari ketemu di jalan, jadi aku tidak sungkan untuk menyapa.”
“Namaku Rossa…” Ucap Rossa sambil mengulurkan tangan kananya.
“Aku Sandy,” Balas lelaki itu.
      Sejak saat itulah Rossa dan Sandy saling kenal, kemudian menjadi dekat dan akhirnya saling mencintai. Namun hubungan cinta keduanya tidak berlangsung lama. Sandy harus pulang ke kampung halamannya di Sumatra Barat untuk mengabdi sebagai aktivis sosial seperti impiannya selama ini untuk mengembangkan daerahnya. Bahkan kabar terakhir yang Rossa dengar, saat ini Sandy telah menyunting salah seorang gadis sebagai istrinya.

Never mind, I’ll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
Don’t forget me, I begged, I remember you said
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead

     Lirik lagu Adele itu begitu membekas di hati Rossa setiap kali ia terkenang Sandy. Kemudian terpikir di benaknya, mungkin saja lelaki yang sedang berdiri di sebelahnya adalah seseorang yang akan menggantikan kehilangan Sandy dari kehidupannya.
“Kok, ngelamun Sa? Capek ya berdiri?”
Suara Ivan membuyarkan lamunan Rossa saat teringatkan Sandy.
“Nggak  kok Van, lagi merhatiin keluar jendela saja,”
“Selama tinggal di Jakarta, sudah kemana aja? Pernah ke Kemang nggak?”
“Emang ada apa di Kemang?”
“Kalau weekend aku manggung di sana.”
“Manggung?”
“Maksudku, aku nyanyi di salah satu cafĂ© di Kemang. Kalau kamu ada waktu datanglah kesana ya?”
“Wah, mau… mau… Pasti suaramu keren ya?”
“Ah, biasa aja!”
Seperti air yang mengalir menuju muara, pertemuan Ivan dan Rossa berjalan dengan indah, dan memberi kesan cukup mendalam diantara keduanya. Seperti hati Ivan yang tidak henti berdetak, demikian pula Rossa, ia merasa begitu yakin, Ivan adalah seseorang yang selama ini ia cari sebagai pengganti Sandy yang pernah teramat sangat dicintainya.
“Kak Ivan… “ Ivan merasa kaget ketika tiba-tiba seorang lelaki muda bertubuh tambun menghampirinya. “Ya, ampun, aku nggak nyangka banget bisa ketemu Kakak di sini…”
“Maaf, kamu siapa ya?”
“Kok lupa, aku ini Rio, Kak!”
“Rio?”
“Iya Kak, aku pengurus osis SMAN 5 Bogor, dulu kan Kakak pernah manggung di sekolahku.”
“Oh, iya, baru saya ingat. Apa kabar Rio?”
Ivan menyalami Rio yang wajahnya tampak senyam-senyum penuh ceria.
“Aku nge-fans banget lho sama Kakak. Suara Kakak itu BAGUS BANGET!”
“Hehehe… makasih ya! Oh, iya kamu mau kemana nih?”
“Aku mau ke Kota Kak. Maaf Kak, boleh minta no hape-nya nggak?”
“Kamu punya twitter kan? Follow Kakak saja di @ivansaputra88.”
“Oh, baik, Kak… Makasih ya. Kalau suatu hari ada acara lagi di sekolahku, Kakak mau kan diundang?”
“Ya, mau, dong, sebagai alumni SMAN 5 saya senang sekali bisa menyumbang, walaupun hanya menyumbang suara, hehehe…”
“Kak Ivan, boleh foto nggak?”
“Erm… Kalau lain kali aja gimana, nggak enak nih di atas kereta begini.”
“Sekarang aja ya, Kak…”
Di tengah sesaknya penumpang Rio merapatkan tubuhnya kepada Ivan,dan menjepret foto mereka berdua dari handphonenya. Orang disekelilingnya cuma mengulum senyum melihatnya, seperti halnya Rossa.
“Nggak nyangka ternyata kamu sudah punya fans juga ya, Van?”
“Bukan fans, cuma kenal saja…”
“Buktinya pakai foto-foto segala. Kayaknya si endut itu suka banget deh sama kamu. Jangan-jangan dia naksir kamu lho…”
“Idiiiih… amit-amit deh..”
Rossa hanya tertawa geli sambil mempertontonkan barisan giginya yang putih, dan Ivan dalam waktu sekejap sudah bisa mengakui bahwa hatinya telah tertambat pada Rossa, walau sisi hatinya yang lain bertanya, apakah harus secepat ini perasaan cinta itu hadir?
Kereta bergerak perlahan-lahan menambatkan diri di stasiun Pasar Minggu. Memuntahkan penumpang di dalamnya. Ada senyum yang terukir di bibir Ivan saat melambaikan tangannya kepada Rossa yang meninggalkannya di stasiun Pasar Minggu. Saat berpisah Ivan berpesan agar hati-hati di jalan, Rossa hanya menanggapinya dengan senyum. Kali ini Ivan, tidak hanya tersenyum, namun debaran hatinya yang tak menentu teringat Rossa yang baru saja berlalu dari hadapannya. Inikah getaran cinta yang kembali tumbuh? Mengapa secepat ini terjadi? Mungkinkah ini yang disebut orang cinta pada pandang pertama? Ivan mengintrogasi perasaannya sendiri, dan senyum di bibirnya tidak berhenti sampai kereta jurusan Bogor sudah merapat di hadapannya.
“Halo…” Untuk pertama kalinya Ivan menelpon Rossa, setelah dua kali panggilannya tidak dijawab.
“Siapa, nih?”
“Rossa, ini aku, Ivan,”
“Eh, kirain orang salah sambung. Ini nomor kamu ya, Van?”
“Iya, simpan ya. Oh, iya,kamu dimana? Sudah sampai rumah.”
“Iya, aku baru saja sampai. Emangnya ada apa, Van?”
“Nggak…aku cuma mau memastikan saja kalau kamu sudah sampai rumah.”
“Oh… kirain apa? Makasih ya Van, tadi kamu udah nganter aku. Terus, kamu sendiri sekarang dimana?”
“Aku masih di kereta nih, tapi bentar lagi sampai di Depok kok…”
“Ya udah, hati-hati ya, Van.”
“Iya, Sa. Selamat istirahat aja yaa…”
    Perlahan tapi pasti, ada rasa rindu kepada Rossa yang mulai menyelusup ke dalam ruang hati Ivan, ruang hati yang telah lama kosong, tidak berpenghuni. Pertemuan dan perkenalannya dengan Rossa hari ini, sungguh tidak disangka-sangka, ada cinta yang berputik di hati Ivan, cinta pada pandangan pertama yang mengingatnya kepada seseorang yang pernah dicintainya di masa lalu.[]
*Dedicated to Ivan Saputra, Finalis Indonesia Idol 2012