Dang Aji, dkk
JIKA AKU MENJADI…
[Lihatlah lebih
dekat, maka kau akan terinspirasi]
~~*~~
Dang Aji Sidik
Pengayuh Becak
Bang
Mad, namanya. Perantau dari Madura yang sudah 10 tahun lebih tinggal di
Surabaya. Dia seorang penarik becak. Di tengah panas terik matahari dia
mengayuh becaknya, walau sakit sekalipun tidak perduli, kalau tidak bekerja
dari mana ia bisa memberi makan keluarganya, kerja hari ini untuk makan hari
ini. Penghasilan menarik becak memang tidak seberapa dibanding tuntutan
hidup istri dan ketiga anaknya yang sudah bersekolah. Jika Bang Mad
menghantarku dan kurasakan kayuhan becaknya pelan, kutahu dia sedang sakit. Dia
akan diam, tidak mengajakku ngobrol seperti biasanya. Sabar Bang Mad, hidup
seperti roda becakmu, mungkin suatu hari nanti anakmu yang selalu dapat
rangking di sekolahnya itu akan merubah masa depanmu menjadi lebih baik.
***
Itsmea Jidhga Pisu Sahany
Sang Pendamba Sunyi
Wanita itu
menyapa pagi dengan sekulum senyum, merentangkan ruang hatinya lebar-lebar agar
sepoi asa hinggap dengan leluasa. Ia berjalan terseok tanpa alas kaki
menawarkan barang dagangan berupa alat-alat rumah tangga terbuat dari bambu
demi merenda hari yang telah usang. Pur, demikian wanita berwajah sendu itu
disapa. Sekilas, mungkin .ia nampak layaknya manusia biasa. Namun
sesungguhnya ia berbeda. Kaki dan tangan kanannya tak sesempurna orang-orang di
sekitarnya. Sejak kecil ia telah terbiasa berjalan tertatih-tatih dan selalu
mengandalkan tangan kiri untuk melakukan berbagai hal. Pun, ia sangat akrab
dengan caci maki. Ia bahkan terlalu sering menelan getir lantaran hanya mampu
memandangi kedua buah hatinya -yang lahir tanpa ayah- dari kejauhan. Mereka
terpaksa diasuh oleh saudaranya agar kedua buah hatinya itu mampu mengenyam
hidup dengan lebih indah. Aku tak mampu memahami benar rupa kelindan hatinya.
Bagaimana mungkin ia dapat bertahan hidup sebatang kara di sebuah rumah
sederhana, tanpa kasur empuk atau kotak ajaib bernama televisi sebagaimana para
tetangga miliki. Meski Yem, adik kandungnya tinggal hanya berjarak beberapa
jengkal, ia tak merasakan hangatnya kasih sayang. Bahkan sang adik ipar tega
'menjamah' tubuh rapuhnya, melengkapi penderitaan yang selama ini sudah terlalu
merajam dinding kalbunya. Namun ia tak ingin terpuruk berlama-lama karena hal
itu. Ia juga tak berkeinginan mengemis kasih sayang dari siapapun. Ia masih
bersyukur padaNya atas asa nan membara, berharap suatu saat kelak para buah
hatinya bersedia memintal hari bersamanya atau paling tidak mendengar mereka
memanggilnya "ibu".Madiun, 070412
***
Kamal Agusta
Sesungguhnya
Kau Istimewa
Dalam hidup
tak ada sesuatu yang sempurna. Begitu pun dia. Namun, semangat dan itikadnya
membuatku belajar untuk menjadi sempurna.
Aceng,
begitulah nama yang ku kenal darinya. Seorang pria berumur 25 tahun. Terlahir
dari keluarga yang tak berpunya.
Aceng,
sekilas jika kita melihatnya tak ada yang berbeda. Tapi, coba amati lebih
seksama. Kaki yang seharusnya kokoh untuk seusianya, terlihat kerdil dan layu.
Tungkai yang lemah itu tak bisa untuk menopang tubuhnya, apalagi diajak
berjalan. Tidak hanya kaki, tangan kanannya pun lunglai. Hanya tangan kirinya
yang berfungsi.
Aceng hanya
lulusan SD. Dia tak mampu sekolah tinggi karena orangtuanya hanyalah buruh batu
bata yang menumpang di bedeng orang.
Di
keseharian, Aceng bekerja sebagai guru ngaji untuk anak-anak di kampungnya.
Meskipun dibayar secara sukarela, Aceng tak pernah mengeluh akan pekerjaannya.
Hal ini dia lakukan untuk membantu beban orangtuanya.
Kemarin
Aceng cerita padaku bahwa dia ingin menjadi penulis seperti Gola Gong. Dia
ingin mengangkat kehidupan keluarganya dari kemiskinan.
Tahukah kamu
bagaimana dia menulis? Aceng menulis karyanya di sebuah buku tulis dengan
tangan kiri. Jika tulisannya kelar, dia akan meminta temannya untuk merentalkan
tuliskannya agar diketik ke komputer. Untuk biaya rental dia menggunakan gaji
dari mengajar mengaji. Meski, terkadang Aceng sering berhutang bila tak ada
duit.
Aceng sering
menanyakan info lomba padaku. Dia sangat rajin ikut lomba. Meski terkadang
Aceng harus menelan pahit kegagalan. Tapi, dia tak pernah menyerah.
"Jika
kali ini gagal. Aku akan coba lagi. Gagal. Coba lagi. Begitu seterusnya sampai
aku tak sanggup menulis lagi."
Kalimat
itulah yang sering dia katakan jika mengalami kegagalan.
Jika aku
menjadi Aceng, aku tak yakin bisa setegarnya.
Aceng,
meskipun kau terlahir dalam keadaan yang berkekurangan. Tapi, kau sesungguhnya
istimewa. Tetaplah semangat menulis. Kuyakin kelak namamu akan dikenal sebagai
penulis besar.
*teruntuk
Aceng, inspiratorku untuk malu jadi pengeluh. Terimakasih atas kisahmu di senja
kemarin.
Pekanbaru, 7
April 2012.
***
Ichsan 'kidnep' Effendi
Si kecil Udin
Udin,
begitu nama panggilannya yang selama ini kukenal. Si kecil asal kampung kecil
di Nusa Tenggara Timur yang telah ditinggal oleh bapaknya selama- lamanya. Kini
ia hanya mampu berjuang hidup demi ibu tiri satu- satunya yang masih setia
menemaninya hingga kini. Setiap pulang sekolah, ia tak langsung pulang
melainkan mencari ikan di kali untuk bekal makan bersama ibunya. Terkadang jika
ia tak mampu mendapatkan ikan hari ini, ia hanya bisa mempersembahkan ubi kayu
untuk ibun tercintanya. Begitu nampak gurat- gurat kelelahan dari wajahnya yang
mengering jika matahari begitu menyengat. Terlintas dari benakku jika aku
menjadi si kecil Udin aku mungkin tak kuat rasanya berjuang demi menghidupi
keluarganya setelah pulang sekolah. Padahal setelah pulang sekolah aku biasanya
hanya bisa bermain dan malah terlalu nikmat istirahat siang. Tapi baginya tidak
seperti yang kulakukan setelah pulang sekolah. Darimu wajahnya mampu kudapat
berbagai pelajaran penting tentang pentingnya kerja keras jika ingin mendapat
sesuatu yang terbaik.
***
Djayanti Nakhla Andonesi
Pedagang
agar-agar
Ya,
dia adalah Pak tua, seorang pedagang agar-agar. Sudah lama ia tinggal di rumah
bilik bambu itu, sendiri. Ia terkena musibah kebakaran yang menyebabkan ia
harus berpisah dengan anak istrinya, selamanya. Hanya ia yang selamat dari
musibah kebakaran itu. Sementara di kampung ini, ia tidak punya sanak famili
lain. Karena ia memang perantau jauh dari luar pulau. Yang mengagumkan adalah,
meski usianya sudah sangat senja, ia masih semangat menjajakkan dagangan hasil
karyanya : agar-agar. Walau harus berjalan kaki puluhan kilometer, ia optimis
agar-agarnya laris agar bisa bertahan hidup dan menjadi manusia yang
bermanfaat.
karawang,08
oktober 2011.
2:04
pm.
***
Arif Rezpector
Ridho, bocah receh
Tak
pernah alpa kumelihat bocah kecil itu. Yang selalu mangkal di perempatan jalan
setelah jam pulang sekolah. Ia tak hentinya menyanyi dengan suara sumbangnya,
di iringi dengan alat 'kecrek' dari tutupan botol yang di paku di atas bilahan
kayu. Tak peduli kulit yang terbakar oleh matahari, desahan nafas yang menyiksa
karena asap kendaraan, tangan kiri yang memar karena harus di pukuli setiap
waktu. Ketika ku bertanya mengapa ia harus melakukan ini. Dengan nada lirih ia
menjawab, "Saya harus tetap seperti ini, agar saya tetap dapat menikmati
'nikmatnya' pendidikan. Meski hanya sampai SD."
***
Titin Mamanya Ella Ellen
Mbak Yah
Mbak
Yah..., begitu biasa dia dipanggil. Seorang perempuan paruh baya yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di tempat kost ku. Dia selalu bangun pagi
meyiapkan sarapan untuk ku dan keperluan teman - teman kost yang lain. Mbak Yah
juga yang mencuci dan meyiapkan pakaian kerja yang akan aku pakai. Malam hari,
saat aku pulang kerja sudah tersedia makanan yang dimasak oleh mbak Yah. Jika
aku terlambat bangun dari biasanya, dia akan mengetuk pintu kamarku,
membangunkan aku, supaya aku tidak terlambat berangkat ke kantor. Ketika aku
sakit, mbak Yah juga yang "ngeroki", mengantar ke dokter dan
membuatkan bubur untuk ku. Semua yang dia lakukan adalah ketulusan tanpa pernah
meminta imbalan. Mbak Yah, hanyalah seorang pembantu rumah tangga, namun dia
sangat berperan dalam keseharianku. Terimakasih mbak Yah......
***
Lapezal Buranegaptek Wajowanuanna
Pengrajin Dapo(Tungku dari tanah liat)
I
Bula', wanita Bugis yang kepalanya kini memutih mengiring senja usianya.
Seorang seniman menurut nalarku. Seniman yang malang. Bongkah tanah yang
diukirnya akan menjelma menjadi "Dapo", yang merupakan alternatif
kesekian digunakan masyarakat setelah kompor gas dan minyak tanah. Dapo'
dipenuhi ukiran indah. Tak sembarang yang mampu ...membuatnya. Namun miris,
ketika I Bula menawarkan Dapo'nya. Rp. 10.000 harga yang dipatok. Tak jarang
pembeli yang meminta kurang. Mereka mungkin tak tahu berapa liter peluh yang
mengucur dari wajah tua I Bula. Atau menidaktaukan diri atas terik yang tiga
hari menindas kulit kusutnya demi sebuah Dapo.
***
Srikandi Darma Aloena Dua
Namanya
Pak Dar dan Bu Ifa. Mengayuh biduk dilautan bergelombang. Hidup dan menghidupi
diri dan ketujuh anaknya. Bu Ifa memunguti telur dari pintu ke pintu sebutir
laba lima rupiah, itupun jika tidak ada yang retak saat perjalanan atau ada yg
buruk saat diteliti pengepul. sementara Pak Dar menjahit baju kebaya (yang saat
ini sudah sangat jarang peminatnya). Kadang apapun digarapnya. Semua mulut tak
bisa hanya mengatup, karena perut terus menuntut. Sepanjang hari dua orang tua
ini melupakan lelah, melupakan luka. karena kalau menghirau lelah anak mereka
tak mampu sekolah. Kalau menghirau luka, tiap hari hati terluka oleh omelan
penagih hutang dari dimana-mana. Lapar itu biasa, sehari bertemu nasi sekali
adalah berkah terindah. karena sembilan mulut bukan sedikit biaya. Tapi tekat
untuk menyekolahkan anaknya adalah hal yang sangat dia utamakan meski makan
hanya bertemu sepotong singkong atau nasi jagung setiap hari. sisanya puasa.
Kadang air mata yg hendak tumpah ditahannya demi senyum anaknya tetap merekah.
Tapi kerut kening dan wiru di kulitnya adalah tanda.
***
Nata Salama
Pedagang
Air Keliling
Aku
memang tak mengenalnya. Tapi bapak dengan tubuh renta itu dulu sering kulihat
mendorong gerobaknya berkeliling menjajakan air.
Ada
sebuah tempat di Bandar Lampung yang mata airnya tak pernah mengering sejak
jaman mamaku masih kecil hingga kini. Dan tempat itu menjadi sumber mata
pencarian banyak orang sebagai pedagang air keliling. Termasuk bapak itu.
Meski
telah renta, tapi semangatnya mengais rejeki patut diacungi jempol. Terkadang
aku berpikir, kemana keluarganya yang lain, hingga ia masih harus bekerja berat
seperti itu, berkeliling mendorong gerobak dan mengangkat derigen-derigen air.
Entah,
bagaimana kisahnya kini, karena sejak kepindahanku, aku tak pernah melihatnya
lagi.
***
Aiman Bagea
Perempuan
Tangguh Serba Bisa
Rumahnya
rumah panggung, namun ringkih, beratap rumbia, berdinding papan, seperti
rumah-rumah yang dominan di Pulau Kabaena, sulawesi tenggara. Namanya Yana.
Seorang janda beranak tiga yang tangguhnya luar biasa, menurutku. Dia tidak
memiliki perkejaan tetap. Hari-hari untuk terus mengasapi dapurnya dia bekerja
apa saja. Dia perempuan tetapi bisa mengerjakan pekerjaan lelaki. Dia biasa
kerja mengupas kulit kelapa dengan linggis, membuat minyak goreng dari kelapa,
kopra, mencuci pakaian orang-orang yang sibuk, dan lainnya. Dia lakukan itu
demi anak-anaknya, demi masa depan puta-putrinya kelak nanti. Bu Yana, aku
selalu berdoa semoga suatu saat anak-anakmu bisa membuat keluarga kecilmu lebih
sejahtera dan bertaburkan kebahagiaan.
***
HC LutHfie
Penjaga Makam
Tonjolan
belulang rusuknya menyatu dengan legam kulit. Membasuh peluh di sela – sela
nisan yang menimbun jasad. Menopang karung goni berisi sampah ranah makam.
Pandangannya melamur kala senja memeluk dengan manja. Terpekur dalam uluran
peziarah yang bersedekah. Mencoba mengganjal sudut perut dengan sebuah jambu di
tepi areal makam. Ucapan syukurnya tetap menggalah hatinya. Setidaknya dia masih
diberi kesempatan hidup meski beradu dalam bilik kesusahan...
***
Mansur Nggih
Ibu
Ul
Bu
Ul, itulah panggilan akrabku kepada ibu uliah,beliau sebatang kara,dirumahnya
yg sunyi seperti gedung kosong. Beliau pedagang serba bisa , walaupun keadaan
fisiknya tdk mendukung. Kakinya cacat sejak kecil,kedua kakinya bengkok dan
menderita dwarfisme.
Beliau
tetap semangat tanpa ada keluh kesah , beliau tetap rajin ibadah, tak jarang
kudengar beliau membaca al quran dg suaranya yg merdu.. Beliau tetap bekerja apa
yg bisa beliau kerjakan, yaitu hanya dengan berjualan , dadar-gulung kesukaan
anak2 ditempatku. Kadang beliau jualan dedek, nasi aking sbg untuk selingan,
dgn jasa tukang becak. Ditengah kekurangannya beliau masih bisa membantu
saudaranya.
Serang,
8 okt 2011
***
Tia Marty Al-Zahira
Pengamen
Cilik
Ika
nama gadis cilik itu, bermata bulat dengan rambut pirang sebahu bukan karena
dia Indo tetapi pirangnya karena gadis cilik itu bersahabat dengan matahari dan
hujan bernyanyi dari satu angkot ke angkot yang lainnya dengan suara cempreng
dan bungkus bekas kantong permen dia menadahkan pada setiap penumpang yang
duduk. Dia sosok ceria yang tak pernah mengeluh, sosok tegar dalam menghadapi
segala cobaan hidupnya. Gadis cilik itu penopang ekonomi untuk keluarganya
namun ada doa yang tersirat di bibir tipisnya bahwa dia ingin bersekolah
seperti teman-teman sebayanya.
***
Eric Keroncong Protol
Pemecah
Batu Sungai
Aku
menyaksikan desa di Randumerak Paiton yang setiap hari bekerja menjadi pemecah
batu sungai. Tak memandang sinar mentari yang bergelantung, para-para pemecah
batu sungai yang rata-rata berpenghasilan minim itu terus mengeluarkan
otot-ototnya demi kelangsungan hidup keluarganya. Jika aku menjadi pemecah batu
sungai mungkin aku tak akan sanggup duduk dibawah sinar mentari yang menyengat,
memukul batu-batu besar yang akan dihancurkan. Inilah potret kehidupan
Indonesia.
***
Firsty Ukhti Molyndi
Tukang Urut
Aku
mempunyai tukang urut langgananku. Namanya Mbah Goprak. Usianya sudah 80
tahunan tapi semangatnya mencari nafkah tak pernah pudar. Dia tinggal bersama
anaknya yang bekerja sebagai sopir dan cucu serta menantunya di sebuah rumah
kontrakan kecil di dekat SDku dulu. Biarpun sering mengalami berbagai kesulitan
hidup, wajahnya selalu kelihatan ceria. Tak jarang ia mengeluarkan airmata saat
menceritakan kisah hidupnya yang harus mengurus 5 orang anak laki-laki
sendirian karena suaminya meninggal dalam kecelakaan truk. Suaminya seorang
supir pengangkut pasir. Dan tak jarang pula ia menangis berterima kasih kepada
kami yang sering memberinya sedekah..
***
Hylla Shane Gerhana
Balada Pengamen Kecil
Hidupmu
fenomena jalan raya, nyawamu tergantung di antara pita suara. Kaubertanya pada
dunia, “Mengapa Ayah Ibu selalu menderita.” Mereka mengajarkan jangan pernah
teteskan air mata.
"Hei
kamu buta Ya!" t...eriak kondektur dengan mata serigala. Karena tangan
kecil terkulai tanpa daya hampir jatuh tergelantung di pintu terbuka. Seharian
ini perutnya belum terisi apa-apa cuma udara kota lalu dimulailah cerita lagu
lama.
"Tuk
menghibur semua sekedar buat 100 rupiah tanda mata dari yang berhati berasa.
Hari
itu sembab wajah berduka. Ibunya yang penuh kasih, berpulang kealam baka. Sakit
dengan obat yang melangit harganya yang tak terbeli kecuali ditebus dengan
nyawa.
***
Anung D'Lizta
Guru
Sejak
kecil impianku menjadi guru.Namun karena keadaan yang membuat keluargaku tidak
mampu menyekolahkanku akhirnya aku menjadi babu.Karier itulah yang sedang aku
jalani meskipun aku sering mengadu.Demi ketujuh adik-adikku aku mampu
bertahan.Seperti hari biasa tugasku mengemas rumah dan menjaga tanaman aku
sering berkhayal kelangit ketujuh... dan disana aku temukan sebuah mimpi. Mimpi
yang aku harakan akan terpenuhi.Guru,aku ingin jadi guru dan memberi ilmu pada
anak didikku.Tapi sekarang status Guru yang kuraih bukan dari gelar sarjana
maupun diploma.Aku tetap dipanggil guru karena aku mengajari adik-adikku untuk
menjadi anak-anak yang membanggakan keluarga dan bangsa.
***
Fitri Elfad Burhani
Pemulung
Aku
menyebutnya mbak Mi. Wanita yang lahir dengan keadaan cacat kaki. Sehingga
berjalan pun harus terseok. Menembus gelapnya pagi demi sesuap nasi.
Mengumpulkan botol bekas dan mengorek sampah. Berjalan di bawah matahari sudah
menjadi makanan sehari-hari. Memikul karung dengan raga kecilnya.
Mi..
masih ada juga lelaki tega menodai. Menjadikannya orang tua tunggal untuk
membesarkan seorang bayi. Bayi yang mungkin tak pernah diharapkannya namun kini
begitu disayangnya. Menjadi seorang ibu sekaligus bapak bukanlah pilihannya.
Namun apa daya jika lelaki bejat itu tak kunjung bertanggungjawab.
Mbak
Mi, semoga putri kecilmu yang kelak menjadi kunci surga bagimu..
***
Jannatul
Zahra
Dia
sering dipanggil Acil di kampung nya bekerja beliau mpy 5 orng ank &hanya
memiliki sbuah warung kecil disebelah rumahnya acil acil sangat pekeja krs hari
acil bngun sblum matahari dtg acil sdh memulai aktivtasnya , acil jg dikenal
sgt baik&rajin beribadah& berkat keras mengais rezeki kini acil bs
mengantarkanke 5 anknya m mjd sarjana hanya dr sbuah warung yg kecil. Bahkan
anaknya ada yg mendudki jbtan pnting
Andai
aku menjadi...
***
Hudha Abdul Rohman
Penjual Pecel
Terlihat
seorang perempuan renta,wajahnya hanyut dimakan usia. Mbok Nah,seorang penjual
pecel keliling asal Madiun yg merantau ke Surabaya,sejak pukul 3 dini
hari,suara riuh mulai terdengar dari dapur reotnya.Berjualan hingga pukul 2
siang,lalu kembali membantu suaminya yg bekerja sbg tukang tambal ban disamping
Kampus B Unair hingga malam merayap. Ya,demi ke 4 anaknya yg membutuhkan bnyak
biaya utk sekoLah..
***
Adi Rha Leopaki
Perahu
Tambang
Mbah
Kur cangklong diatas perahu tambang tua. kepulan asapnya tak pernah berhenti
dari bibir keringnya. Lebih 30 tahun dia melakukan aktifitas yang sama. Dulu
Subuh begini berulangkali dia bolak balik perahu tambangnya. Sekarang banyak
perahu saingan yang berjejer sepanjang sungai Berantas. Rata rata memiliki tenaga
mesin. Hanya mengandalkan galah bambu keberadaan perahunya makin terpinggirkan.
Untuk membeli mesin? Terlalu mahal.
"sekedar
mengepulkan asap dapur saja sudah cukup, anak anak sudah pisah semua"
Katanya.
Untuk
mengisi hari tua dan tidak ingin tergantung pada anak anaknya. Pak Kur tinggal
dengan istrinya tetap beryukur atas rejeki yang ada.
***
Tuti Salamah
Emak Rif namanya, dia seorang ibu yang harus
menghidupi dan mendidik anaknya seorang diri, sementara sang suami mendekam di
sebuah hotel prodeo karena suatu skandal. Aku lihat setiap malam di pojok
rumahnya dengan penerangan lampu lima watt, tangan beliau begitu lincah
menggoreskan lilin membentuk motif bunga di sebuah kain putih. Emak Rif baru
akan menghentikan pekerjaan membatiknya ketika jam berdentang dua belas kali,
bahkan kadang kala sampai dini hari. Dan biasanya pada waktu sepertiga malam
beliau akan sahur, karena esok harinya beliau lebih rela perut ketujuh anaknya
kenyang. Terlebih untuk anak-anaknya yang masih sekolah SD.
Jika aku menjadi dia….
***
Nurlaili Sembiring
Bu Ami, kepahitan dalam mengarungi kejamnya dunia
tak tampak dari raut wajahnya. Semangat, kesabaran dan ketegarannya mampu
menenggelamkan segala beban di pundaknya. Senyumnya selalu terkembang di balik
tuntutan hidup yang kian memuncak. Menjadi tulang punggung keluarga demi ke-6
anak-anaknya yang masih bersekolah.
Sejak pagi hingga petang tiada henti ia berkerja.
Pagi ia menjadi buruh cuci, siang hari ia menjual penganan di sekitar Stasiun
Bus. Dan sore hari kulihat tangannya yang telah berkerut termakan usia itu begitu
cekatan membuat keranjang yang berbahan dasar bambu. Sesekali tanganya terluka,
berdarah karena tersayat bambu tersebut
”Tak mengapa, demi anak-anakku,” katanya. Ah…jika
aku menjadi dia?
***
Noor Siti Halimah
Semangatnya sungguh luar biasa. Setiap pagi ia
berjalan kaki mengantar anaknya bersekolah di PAUD terdekat yang ada di desa
Cacaban Kidul.
“Nyong telung taun nganter anak ora pernah bosen,
kala-kala nyong gendong, harapane dadi anak soleh lan pinter*”, tuturnya.
Jarak PAUD tiga kilometer dari rumahnya, melalui
sebuah tebing terjal. Ia pun masih harus membantu menghidupi keluarga.
Mengumpulkan daun-daun cengkeh kering di hutan untuk kemudian dijual kepada
pengepul.
*Saya tiga tahun mengantar anak tidak pernah bosan,
terkadang anak saya gendong, harapannya bisa menjadi anak soleh dan pintar.
Bu Aisyah dan suaminya hidup dari hutan. Namun
semangat belajar mereka tidak pernah padam. Tiga hari dalam seminggu mereka
mengikuti kegiatan belajar kejar paket di rumah kepala dukuh bersama penduduk
setempat lainnya.
***
Dee Ann Rose
"Jadi itu orangnya!" Aku berseru melihat
seorang wanita yang ditunjuk ibu. Dia sedang berkeliling menawarkan ayam
kampung milik Pak Aman. Perawakannya pendek, kurus kering dan menonjolkan urat.
Tidak sepadan dengan usiany. Namun sorot matany memantulkan binar smangat. Aku
merasakan itu. Lilis. Namany cepat melekat dalam fikiranku saat ibu mengatakan,
"Ceu Lilis itu punya 16 anak". Mndengarnya, aku bergidik. Apalagi
saat tahu suaminya hnya seorang kuli yang ingin mnikah lagi! Oh, jika menjadi
dia?
***
Faiz Fathur Roshan
Amirul. Bocah kecil yang setiap harinya sama saja
dengan bocah lainnya. Pagi, pergi ke sekolah. Tak hanya belajar, tapi juga
bermain dengan teman sebayanya. Baju seragam merah putihnya memang sedikit
lusuh dibanding yang lainnya. Air di rumahnya memang kurang jernih. Pulang
sekolah barulah ia lain dari anak seusianya. Ia harus merasakan kepayahan.
Mengumpul tangkup-tangkup air pada dua buah ember, yang dibawanya sekali pikul.
Berulang ia timba air dalam sumur tetangganya. Jarak dari rumahnya hanya 100
meter saja. Memang hanya sumur itu yang tidak kering di musim seperti ini.
Dengan tangan-tangan kecilnya, selalu ia penuhi bak mandi di rumahnya.
***
Jefri Setyawan
Pernah dipanggil-panggil, pernah juga dijawil. Sejak
kecil Susi Rahmaniar tak pernah kepikiran menekuni pekerjaan sebagai juru rias
jenazah seperti saat ini. Namun, perempuan 34 tahun yang beralamat di
Jl.Panglima Sudirman 43 ini beralasan tuntutan hidup membuatnya tak bisa
menolak. Susi, wanita yang sering disapa demikian itu diterima di perusahaan
Saeka Praya yang bergerak di bidang pelayanan jenazah Desember 2002 lalu. Awal
dari masa kerjanya ia sempat mendengar suara tangisan aneh dalam kamar rias berukuran
3x4 meter. Sempat ia dijowal-jawil tatkala itu, ia hanya diam. Kini,
pekerjaanya itu ia lakukan dengan sangat biasa. Sebiasa perasaannya ketika
menyeruput teh manis di sore hari.
***
Leni Nur Hikmah
Jika
aku menjadi -pengamen kecil
dia kujumpai pertama kali di senja ramadhan lalu,
sedang mengantre makanan gratis yg dibagikan di masjid salman. Dia masih kecil,
3 SD,mungkin. bajunya sederhana, polos, tipis, kebesaran dan banyak noda kusam
di ujung2nya. besoknya,kujumpai lagi dia. bukan di salman, kali ini di
persimpangan dago. masih dengan baju yg sama. dia tersenyum, menyembulkan
sedikit kepala dan bekas aqua gelas ke pintu angkot yg sedang mandeg karena
lampu merah. dia menyanyi,sedikit dengan napas terengah. gemerincing koin yang
tak seberapa di gelas plastiknya itu seolah adalah keajaiban yang tengah Allah
anugerahkan padanya. dengan berbinar, dia mengucap syukur dan terima kasih. dia
beranjak, setelah tak lupa memberi kami senyuman kedua. dari jendela kulihat
dia, dengan kaki2 kecilnya, berlari dari satu angkot ke angkot lainnya.
sesekali dia menengadah ke langit, tersenyum. setelah itu dia menyeka peluh
diwajahnya, dan kembali berlari, menyanyi, dan tersenyum untuk tiap2 koin
rezekinya yang diberikan oleh Yang Maha Pengasih, pagi ini.
***
Hisa Erika
Nenek
Penjual Buah
nenek brbju kumal it tinggal sendirian d gubuk sgt
sempit yg mnempel d bibir sungai tak jauh dr kampusq. Nenek renta yg tlah
bungkuk it sebatang kara. Tiap hr dgn setia ia mnunggu dagangan buahx(yg kbnykn
hmpir busuk krn sepi pembeli) yg dgelar seadax d pinggir jln dkt jembatan. Prnh
aq & tmnq hendak mmbrix sdkit uang,tp ia mnolak. Ia hny mau mnrima uang hsl
pnjualan buahx, hsl krjax. Kgigihan prjuangan hidupx sgguh luar biasa.
***
Dhede Herlino Rasa Duren
Mak
Emin, tukang urut keliling....
Cacat tubuh bukan merupakan masalah yang bisa
menyebabkan masa depan kita suram. Mak Emin wanita tuna netra yang berjuang
mempertahankan hidup dan kedua anak angkatnya harus mencari nafkah sendiri,
semenjak suaminya menyeraikannya dan pergi dengan wanita lain. Mak Emin
berkerja menjadi tukang urut keliling setiap harinya, terkadang tidak ada yang
memakai jasanya ia pun tetap bersyukur kepada ALLAH. Jujur saja, saya terkadang
merasa menjadi manusia termiskin, padahal jika kita melihat keluar akan ada
lebih banyak orang yang lebih jauh dari pada kita...
***
Budi Fairuz Afghanisthi
Bidadari
Rentaku
Fajar menuruni tangga pagi basah karena embun iringi
semangatnya yang tak kunjung reda ..ringkih..uzur..renta..mengguratkan garis
garis perlawanan derasnya arus hidup pada usia senjanya. Tak terlihat bosan dan
masih tetap cekatan seperti 30 tahun dulu saat pertama berjualan, membungkus
kecil kecil nasi uduk lalu di jual kepada anak anak sekolah madrasah dekat
rumahnya. 15 tahun lalu suaminya di PHK dari buruh pabrik pengolahan karet lalu
sakit sakitan sampai sekarang. Ia adalah emakku. Sebentuk rasa yang sangat
begitu sulit ku berikan pada bidadari bertelapak syurga ini. melahirkan berjuta
energi dan inspirasi bagi kami anak anaknya.
***
Yulina Trihaningsih
Bang
Udin, Petugas Sampah.
Bang Udin, sosok yang tidak banyak bicara, namun
jasanya sungguh luar biasa. Setiap hari, tugasnya memindahkan sampah-sampah
rumah tangga dari tempat sampah ke gerobak besarnya, untuk kemudian dia bawa ke
tempat pembuangan sampah di luar komplek ini. Bahkan bangkai-bangkai busuk
binatang seperti tikus, dan terkadang kucing yang terlindas mobil, harus beliau
hadapi tanpa keluhan.
Pernah suatu hari, dengan sedikit malu, dia serahkan
selembar kertas foto copy untukku. Isinya ternyata undangan acara khitanan
anaknya yang ditulis dengan tulisan tangan. Aku terenyuh. Mungkin, bagi
sebagian orang dia bukanlah siapa-siapa. Tapi, tanpanya, tidak bisa kubayangkan
akan jadi seperti apa lingkungan rumah kami.
***
Sekar Kusuma Dewi
Penjual
Cobek Keliling
aku sering melihat bapak tua penjual cobek itu!
Kutaksir usianya sekitar 50an. Tubuhnya kurus dan hitam legam yang mungkin
menjadi bukti betapa kerasnya dia mengais rejeki. Dipundaknya terpikul 20
cobek.Berjalan kesana kemari menjajakannya dengan harga tak seberapa dan tak
sebanding dengan lelahnya,yang kadang juga tak satupun laku hari itu. Ah,tapi
tak pernah kulihat guratan kesedihan diwajahnya. Selalu tersenyum menjajakan
cobeknya dan pantang menyerah. Sedih aku melihatnya,harusny diusianya dia bisa
menikmati hidupnya.
Tapi memang terkadang begitulah hidup.
"aku tak kan sanggup sekuat bapak tua itu,
walau aku masih muda. 20 cobek terlalu berat untukku"
***
Een 'Ainun Kurnia
Kakek
Berbahu Beton
Setiap pagi, puluhan kilometer ditempuhnya. Dengan
berkendaraan kaki dan sebilah pikulan tersampir di kedua bahunya, membawa dua
keranjang pisang ke pasar. Terbayang berat dan melelahlan! Tapi tidak bagi
kakek yang kujuluki "Berbahu Beton". Tanpa putera puterinya, selain
didampingi isterinya. Di enampuluh tahun usianya, beliau masih harus membanting
tulang demi menyambung hidup. Jarak dan nihil fasilitas tak lagi soal.
Begitupun tandusnya kasih sayang dari anak-anaknya menjadi kegetiran yang sudah
mengakrabi hari-hari rentanya berjuang melawan kemiskinan. Walaupun rupiah tak
seberapa, lisannya selalu dekat dengan kesyukuran. Tak pernah mengeluh dan
menempatkan dirinya "tidak" bertangan di bawah, sudah menjadikannya
kakek yang luar biasa.
Karawang, 8-Okt-11/14.59
***
Ayya Nurhayani Nasution
Darma
Pagi masih dingin, saat aku hendak berangkat menunut
ilmu,pandanganku tertuju pada anak itu. Pilu aku menatapnya ya allah...,
usianya sebaya adikku yang masi duduk di kelas 5 SD. Ia berjuang dalam gigil
sembari memeluk adiknya di emperan toko, aku tau raut yang kusam itu sangat
lapar. Dia menjajakan suara demi perutnya dan adiknya. Aku mendatanginya
sepulang sekolah, ia mengadu padaku tentang getirnya yang dibuang orangtuanya
karena tak mampu mengurus mereka berdua. "Jangan menyerah Darma, kakak
yakin allah memberikan masa depan yang indah untukmu dan adikmu, makanlah nasi
ini, setiap hari kakak akan mengunjungimu."
***
Atieq Ilham
Laki-laki
penarik gerobak
Tiap sore, laki-laki itu melintas di halaman
rumahku. Dengan menarik gerobak berisi barang-barang peralatan rumah tangga.
Badannya kurus. Sepintas beliau terlihat normal. Namun bila diperhatikan tangan
kanannya tak berfungsi. Karna kecelakaan yang membuat tulang tangan kanan
patah. Walau istrinya seorang guru, namun beliau tak mau berpangku tangan
mengandalkan istri. Setiap pagi beliau menjaga toko kelontong, siangnya ketika
istri pulang mengajar, beliau menjajakan dagangan keliling kampung dengan
gerobaknya. Bahkan ketika ada orang yang mau membantu ketika beliau kesusahan
menaruh barang dagangan. Beliau akan menolak dengan menjawab, terimakasih aku
masih bisa sendiri. Beliau tak ingin dipandang lemah karena kekurangannya.
***
Sri 'ade' Mulyani
Unang
Jangan bayangkan sosok pelawak terkenal di televisi
jaman dulu. Unang yang ini seorang pedagang asongan yang seringkali mampir di
halaman rumah kami saatku kecil. Bocah laki-laki bertubuh tak sempurna. Tangan
dan kakinya mengecil akibat penyakit polio. Dengan kotak yang selalu diikat
tali dan dikalungkan di lehernya, lengkaplah cara berjalan khas Unang.
Bicaranya tak jelas, tapi ia cukup cerdas untuk menjajakan dagangannya dan
menghitung uang kembalian.
“Dimana Unang sekarang?” tanyaku pada Ibu.
“Terakhir ibu ketemu sudah sangat lama. Ia bekerja
membantu orang menyebrang jalan”.
Unang, kau mengajarkan ‘keterbatasan’ bukanlah
alasan untuk berpangku tangan.
***
Muhammad Ikhsan Kamal
Adul
sang peminta...
Adul, kami menyebutnya. Dia adalah mualaf yang
tinggal di sebuah pesantren yang sangat sederhana. Mereka hidup dari belas
kasihan orang lain. Mereka dari pintu ke pintu untuk sekedar meminta sodakoh.
Biasanya ia datang pada sore hari bahkan malam hari
di akhir bulan. Dengan menenteng sebuah kantong plastik hitam, ia buang rasa
malu untuk selembar uang seribu rupiah. Miris hati ini bila kulihat ia meminta.
Jika aku menjadi dirinya, aku mungkin tidak
akan sanggup menjalaninya. Bahkan aku malu untuk mengetuk pintu rumah orang
lain.
Aku sangat kagum akan ketegarannya. Ia tak
pernah mengeluh akan hidupnya. Ingin sekali aku berkunjung ke tempat ia tinggal
dan menyampaikan rejeki mereka yang Allah titipkan padaku...
Bogor, 8 okt 2011.
***
Febri M Rizkisastra
Penjual lontong
Mak Atik begitulah aku menyebutnya, ibu
separuh baya yang masih getol bekerja demi memuaskan hasrat batinnya yang suka
berjualan, padahal anak-anaknya sudah menikah dan hidup lumayan. Setiap hari
lelah kerap membayang dan tumpah menjadi tanak pada tiap-tiap lontong buatannya.
Suatu hari anak bungsunya berinisiatif menyuruhnya berhenti jualan agar dapat
istirahat total, namun anak sulungnya malah menitipkan anaknya yakni cucu Mak
Atik ini kepadanya, bukan mengurangi letih yang menyerang hari tuanya, kini Mak
Atik semakin renta dengan diselimuti keletihan lahir dan batinnya.Mak semoga
engkau tabah meski gundah lantas buatmu susah!
***
Oksa PuKo YuZa
Lelaki
Itu..
Setiap pagi kulihat lelaki itu. Lelaki yang kutafsir
sudah berkepala enam. Lelaki yang di tangannya bertumpuk kertas. Lelaki itu
membawa kabar dari belahan dunia. Awalnya aku menyukainya karena ia selalu
membangunkan pagi. Tapi suatu hari, lelaki itu membuat darahku bergumpal,
gerahamku menjadi besi. Bagaimana tidak, suaraku sudah hampir mengalahkan
jeritan elang , tapi lelaki itu tak juga menengok.Padahal, aku ingin membeli
kabar yang dibawanya. Aku sangat marah. Lalu aku berlari mengejarnya. Dan
ketika mataku mendekap wajahnya. Ketika aku ingin meludahinya dengan caci.
Seseorang menepuk punggungku, ”Dia tuli, Nak” . Aku berlari, aku menangis.
Lelaki itu, lelaki luar biasa.
***
El Fasya
Peniup
Peluit Kehidupan
Entah siapa namanya. Yang aku kenal hanyalah tekad
dan perjuangannya, kokoh ditumpukannya pada dua tangan. Sering aku melihatnya,
bukan di perempatan dengan tangan menengadah, mengais iba untuk badan tanpa
kakinya itu. Melainkan ia meniupi peluit kehidupan miliknya.
Ditapakinya aspal panas dengan telapak tangan yang
kian terpanggang. Berbekal peluit, tekad, cinta, serta doa. Dipandunya mobil
dan motor agar terparkir rapi di pelataran rumah makan.
Terik, debu, aspal panas, ataupun seragam yang kian
lusuh sudah diacuhkannya. Ia hanya ingin meniup keras-keras peluit kehidupan
untuk anak istrinya.
***
Mawar Putih
Penjual
Pepaya
Terlirik mata pada seorang bapak yang berjualan di
pinggir jalan di seputaran daerah Darussalam. Memang tak banyak yang ia bawa.
Hanya beberapa saja. Terkadang pun, ia hanya menjual dua atau tiga buah pepaya.
Ia selalu setia didampingi dan dikawali seorang bocah lelaki kemana saja. Dari
pagi hingga senja ia tetap sabar meski tiada pembeli yang menyapa. Ada rasa
haru biru dalam relung kalbu. Betapa tidak, kawan? Disaat yang lain lebih
memilih mengemis di jalan raya, ia tetap berusaha meski tak punya fisik
sempurna. Dia itu BUTA, tapi MAU BEKERJA. Itu yang aku suka..
Banda Aceh, 08/10/2011.
04.15 pm.
***
Sofi Bramasta
Nini Dahri
Wanita renta sebatang kara, tak punya putra atau pun
saudara. Anak angkatnya sudah kembali ke rumah orang tua kandungnya. Rumahnya
di pojok desa, beralaskan tanah beratapkan gedek. Mencari kayu bakar dan
memetik daun singkong kerjanya, hanya untuk menyambung hidupnya.
Terhuyung-huyung badannya saat membawa air dari rumah mertuaku, aku tak tega
melihatnya, ku bantu dia membawakan air dua ember. Kadang juga ada tetangga
yang membantunya. Setelah beberapa hari tak melihatnya, tetangga penasaran
dengan nini Dahri. Begitu ada tetangga datang ke rumahnya ternyata tubuh nini
Dahri sudah terbujur kaku di atas tanah. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun.
***
Ratrya Khansa A
Peminta Cilik
Tanganmu kaku. Tubuhmu begitu dekil. Baju yang kau
pakai sudah lusuh, rombeng pula. Aku kasihan padamu. Kulihat kau duduk di tepi
jalan dan berkata, "Mbak... Mas... Saya ingin beli buku tulis..."
dengan harapan dalam hati ia ingin bersekolah. Disampingnya ada beberapa orang
wanita tua yang tengah tidur lelap seakan tidak akan pernah membuka matanya
lagi. Ia duduk tanpa alas, selembar koranpun tidak. Dia duduk kedinginan,
meringkuk... dan tentunya sedih. Setiap hari kau berjalan kesana kemari demi
sesuap nasi. Sungguh nasibmu...
***
Erma Rostiana D
Jika aku menjadi Mang Mamat, lelaki tua yang menjadi
penjaga kandang ayam, aku tidak akan sanggup tinggal di sebuah rumah yang
sangat sempit dengan kamar mandi terbuka dan dinding yg terbuat dari bilik. Aku
tak akan sanggup mencium kotoran ayam setiap hari. Aku tak akan sanggup memikul
berkarung-karung pakan ayam. Aku pun tak akan sanggup berada dalam kesendirian,
jauh dari anak istri yang tercinta. Mang Mamat, sungguh tegar hatimu. Semoga
rahmat Allah senantiasa menaungimu.
***
Herdoni Syafriansyah
Mereka
Bila aku telah mempunyai keluarga sendiri, aku ingin
menjadi seperti kedua orangtuaku. Kasih sayang mereka, cinta kasih mereka, semangat
mereka, kerja keras mereka demi kami, mereka adalah muasal dari segala
inspirasiku.
Mereka hanyalah seorang petani biasa yang menanam
padi pada sebuah sawah sewaan di ujung desa. Dahulu, saat masa-masa masih
teramat sulit, untuk pergi ke sawah sewaan tersebut -sebelum merah fajar
menyingsing- Ayah telah membonceng Ibu dengan menggunakan sepeda Jengki warna
hitam menempuh jarak delapanbelas kilometer pulang-pergi, setiap hari.
Aku berharap dapat menjadi sehebat mereka, bila
nanti aku telah berkeluarga. Mereka adalah muasal dari segala inspirasiku.
***
Ikbal Tawakal
Ibuku.
Ibuku.
Barangkali aku akan lari secepatnya meninggalkan kehidupan ini. Betapa hidupnya terkekang oleh utang. Utang budi serta uang. Meniupkan napas-napas pada kedua anaknya saban hari, sedang kantongnya telah habis terkuras bertahun silam. Nafkah suaminya tak cukup belikan beras. Maka tak ayal buku-buku diarinya kini penuh dengan catatan uang pinjaman. Alangkah rona matanya kini suram, tak cerah layaknya dulu.
Sungguh, aku tak ingin divonis menghiperbolis
Bundanya sendiri.
Tapi...
***
Rini Bee Adhiatiningrum
Pemijat Tunanetra
Namanya mak Kayah. Perempuan setengah baya dengan
keterbatasan penglihatan. Setiap hari, dilangkahkannya kaki rentanya menyusuri
gang-gang sempit untuk kemudian berjalan dengan dibantu sebilah tongkat menuju
rumah pelanggannya. Sesampainya di sana, tangan rentanya akan memijat perlahan
untuk kemudian diupah dengan beberapa lembar uang puluhan ribu, disesuaikan
dengan kemampuan sang pelanggan. Ia menerimanya dengan ikhlas.
Sepeninggal sang suami, ia hidup sendirian tanpa
seorang anak. Hanya kemenakannya saja yang menemaninya. Itupun hanya untuk
meminta uang dengan memaksa dari hasil keringat mak Kayah yang didapatnya
dengan susah payah. Mak Kayah, meski hidup serba kekurangan , ia tak segan
menyisihkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan.
***
Linda Puspita
Rumah terbuat dari bilik, atap daun rumbiah dan
hidup berpindah-pindah. Meskipun memproduksi batu-bata tapi tak diijinkan
menikmatinya. Bisa kecukupan makan saja syukur. Anak-anak disana sudah
dipekerjakan sejak kelas 5 SD. Bukan dipaksa tapi keinginan sendiri untuk
membantu orang tua. Pagi sekolah, sepulang sekolah ikut mencetak batu-batu. 100
buah batu-bata hanya di hargai seribu rupiah. Aku pernah menjadi bagian mereka.
Dari kecil sampai tamat SMA aku mengerjakan yang serupa. Tapi atas kekuasaan
Allah, aku bisa sarjana. Sekarang aku buka kelas malam untuk mereka. Aku yakin
mereka punya potensi yang luar biasa juga. Dimana ada kemauan disitu ada jalan…
***
Rosa Butar Butar
Penjaga Malam
Wak kios, demikian aku memanggil lelaki renta itu.
Sebagai penjaga malam di areal perumahan yang kami sewa, bersama istrinya
sambil menjual jajanan dengan variasi dan jumlah yang sangat sedikit pada kios
berukuran 1,5 x 2.5 m. Karena pemilik perumahan tidak mengizinkan mereka
meninggalkan pekerjaan walau sebentar, disitulah mereka melepas lelah sebentar
secara bergantian. Udara dingin malam, panas siang hari, dan suara desing
kendaraan di Jalinsum, mereka lalui tanpa keluhan di kios itu. Padahal jika
mau, mereka sudah bisa hidup dari pemberian bulanan delapan orang anaknya yang
sudah berumah tangga dengan berkecukupan.
“Aku tak mau jadi beban bagi siapapun.” itulah
prinsipnya.
***
Zahara Putri
Peri
Aku ingin mempunyai sayap yang terbentang dan indah.
Andai aku menjadi seorang peri aku akan terbang dari satu kota ke kota lain.
Wah, khayalanku benar-benar imajinasi yang fantasi. Bagi aku peri itu ada untuk
menolong manusia dan aku ingin menjadi sosok seperti itu. Aku ingin menolong
korban bencana, kemiskinan, kelaparan, membantu permasalahan orang lain dan
mengatasi segala permasalahan yang ada di dunia. Aku gak suka dengan keadaan
negriku yang semrawut dan berbagai permasalahan melanda. Aku ingin hidup penuh
dengan kedamaian dan kebahagiaan. Aku juga ingin hidup penuh cinta kasih.
Memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Indah dunia …..
***
Tien Tarmorejo
Bocah itu
“Pak…, Mamak kemana kok gak pulang-pulang?” Suara si
sulung diantara isak tangisnya, tangan kecilanya mengaduk-aduk sepiring nasi
dengan lauk tempe goreng yang bukan kesukaanya. Sang bapak sibuk menyuapi ke
dua adiknya yang masih balita. “Mamak, ke pasar nduk.” Jawaban yang hanya itu-itu
saja, dari hari ke minggu hingga bulan. Ke tiga bocah itu masih terlalu kecil
tanpa belaian Ibu yang terpaksa meninggalkan mereka, bergelut dengan peluh
mengadu nasip ke Ibukota.
Siang harinya, ke tiga bocah itu dibawa
Bapaknya ke sungai untuk mengumpulkan pasir, atau membuat batu koral. Si sulung
bertugas menjaga adiknya ditepian sungai, berteduh dibawah kain yang diikat
kepohon.
***
Tuti Lovely Asiah
Seorang janda tua...
anak dan suami telah pergi. Tinggal bersama cucu dan
cicit yg banyak merupakan kebiasaan. mengurus mereka setiap hari. Tanpa jarak
KB membuat jumlah menjadi 5 cicit. Memasak menggunakan kayu menggoreng kulit
ayam pemberian tetangga. Sisa bahan untuk membuat bahan mi ayam. Hmm.. Berpuasa
demi menghemat belanja. Menjajakan minyak tanah untuk membantu perekonomian...
Tapi harus dijalani dengan ikhlas.
***
Isma Wati
Tukang Urut
Mbah Wakiyem, nama panggilannya. Umur sekitar 80
tahun. Setiap hari beliau berjalan, berkeliling menawarkan jasa sebagai Tukang Urut
kepada para tetangga hingga kampung sebelah, di mana tempat beliau tinggal. Tak
sedikit orang menolak. Raut wajahnya terlihat begitu renta, sangat tak
bertenaga. Beliau tetap berjalan tak kenal lelah dan tak pernah mengeluh.
Meski, imbalan yang beliau terima tak seberapa. Setakar beras yang ia dapat
adalah penyambung nyawa, baginya. Hidup bersama seorang anak yang hanya buruh
tani, hasilnya tak bisa di andalkan. Belum 4 cucu dan 3 buyut yang sengaja di
tinggal pergi oleh orang tuanya. Adalah beban yang sangat luar biasa untuk
beliau rasakan. Entah masalah makan dan juga biaya sekolah. Namun, beliau tetap
bersabar dan selalu tersenyum dengan siapa saja yang di jumpainya, bersyukur.
Pernah, saat beliau mengurut kakiku karena
tergelincir, hanya seperti rabaan anak kecil belaka untuk kurasakan. Aku
memandang dan menyadari keadaan fisik beliau, memang sudah tua. Mungkin itulah
alasan orang-orang, kenapa menolak jasa urutnya?
***
Fatimah Az-Zahra
ORANG GILA
Aku lihat seorang perempuan gila di jalanan itu
hampir tiap hari. Ingin rasanya Aku memberikan makanan atau minuman untuk
menolongnya. Tapi Aku takut memberikannya karena dia begitu galak, terlihat
jika ada motor yang lewat dihadapannya dia pukul dengan tongkatnya yang seperti
kayu bakar. Yah... termasuk diriku yang hampir kena pukul tongkatnya,
Alhamdulilah Alloh masih melindungiku. Dari kejadian itu aku pernah berpikir
Jika aku menjadi orang gila itu. Aku pasti akan menjadi orang paling merugi.
Rugi akan kehilangan kebahagian dalam menjalani hidupku yang sementara ini.
Sungguh rugi jika menjadi orang gila, tidak bisa merasakan nikmat yang Alloh
berikan seperti Nikmat melihat, mendengar dan berkumpul bersama dengan
orang-orang yang kita sayangi. Kita akan kehilangan nikmat hidup ini, yang bisa
kita nikmati dengan sederhana seperti mencium harumnya bunga mawar. Sungguh
perempuan gila itu, mengajarkan aku untuk lebih bersyukur dan lebih tegar dalam
menjalani kehidupan ini, agar aku tak menjadi sepertinya. Menjadi apa pun kita
asalkan kita sehat jiwanya, itu tidaklah masalah. Karena kebahagian kita yang
sesungguhnya berada pada diri kita.
Kebahagiaanmu bukan ditangan orang lain,Tapi
ditangan mu sendiri.
Bahagialah dengan kehidupan karena hidup itu Indah.
Dengan segala kebaikan jadikanlah hidup ini indah.
***
Zahrah Satifa
PENCETAK BATA.
Tinggal di gubug beratap rumbia.Kulitnya yang legam
tanda terik yang sering menyengatnya.Tangannya selalu penuh dengan tanah yang
diolahnya menjadi batu bata.
Istrinya yang bergaun lusuh membawa sepiring
singkong rebus.Menjadi keseharian menu makan siangnya.Dan keempat anaknya akan
segera berkerumun mennyambutnya berjejer di dipan kayu tua di beranda.Siang
itu, adik sulung nampak murung.Lelaki itu tau apa terjadi,setelah semalam adik
sulung mengigau dalam tidurnya.
Dia beranjak sebelum menikmati singkong
rebusnya.Dipangkasnya pelepah pisang lalu mengambil batangnya.Dipotongnya tak
sama panjang, lalu di sambungnya potongan lain dengan lidi membentuk
senapan.Adik sulung melonjak girang."Dor,Dor, Akulah tentara"
teriaknya memainkan hadiah ayahnya.
Lalu berhenti sejenak dan berkata" ayah, kenapa
kau selalu mencetak batu bata?kita tak kunjung kaya?.
"ini adalah bakal pondasi ribuan istana."
lelaki itu menghibur.
Dan adik sulung berkata" aku yang akan
membuatkan ayah istana saatku menjadi tentara.
Impian anak kecil yang kini jadi nyata.sang tentara
anak pencetak batu bata.
Maysarah Bakri
Zakaria, bocah 13 tahun tanpa Ayah dan Ibu. Sampai
detik ini, tak cukup mampu membahasakanmu banyak kata. Yang kutahu pasti, kau
inspirasi, simbol kerja keras, keinginan yang kuat dan tentu saja simbol
keceriaan dalam haru yang penuh.
Medan, 08/10/2011 21.10wib.
***
Chandra Ayudiar Arie
*Nini, Sang Penggembala Kehidupan..*
Nini, wajahnya renta, sebatang kara. Belum usai
pergulatannya menyambung hidup yang mungkin takkan lama. Mencari rongsok atau
daun pisang untuk dijual. Namun pekerjaan rutinnya adalah menggembalakan 3 ekor
kambing tetangga demi upah sekedarnya. Dari terik hingga senja Nini harus
menggembalakannya. Hingga mencari rumput dikerjakannya. Nini bahagia, begitulah
dia mencurahkan kasih sayang. Tapi pagi itu bahagia Nini harus terenggut,
pemilik kambing datang membawa paksa kambing-kambingnya. "Kambing-kambing
saya semakin kurus, saya bawa pulang saja!". Nini menangis menatapi
potret-potret usang di dinding bambu gubuknya. Mentari dan bintang-bintang itu
telah lama meninggalkannya sendiri. Kini kambing-kambing kesayangannya pun
pergi..
***
Rosika Azahra
Pengamen Tuna Netra
Dia tak bisa melihat. Setiap kali petang menjelang,
dia selalu berjalan dari satu gang ke gang lain dengan sebilah tongkat demi
mengetahui rute jalanan. Tangannya nampak cekatan memutar tape recorder
andalannya.
Ah, tentang suaranya, mungkin jika mengikuti sebuah
kompetisi tarik suara, dia langsung ditendang oleh para juri yang menilainya.
Tapi dia tetap dengan keyakinanya “ begini lebih baik, dari pada harus berpangku
tangan. Dan aku hanya ingat satu, bahwa hidup adalah sebuah amanat”
Dia masih saja begitu, berjalan mengikuti ruas
jalan. Mencoba menghibur orang dengan suaranya. Karena hidup adalah amanat,
batinnya berucap.
Lalu, bagaimana denganku Rabbi?
***
Lita Maisyarah Dechy
lelaki renta itu membasuh peluh. Matanya nyalang
mencari penumpang. teriknya mentari siang menudung Kota Medan, namun tak jua
gerakkan ia untuk rehat sejenak.
Ditanyainya setiap mahasiswa yg lalu lalang,
berharap ada yg ingin menggunakan jasanya. Penarik beca itu, akhirnya tersenyum
melihat seorang yg memanggilnya dari kejauhan. Aku menyaksikan adegan ini
hampir setiap hari.
Pengayuh beca itu, Pak Andi. Renta bukan alasan
untuk tidak lagi bekerja. Sering ku lihat dia terbatuk-batuk saat mengayuh,
menandakan raganya mulai penat.
Tapi, semangat untuk menafkahi istri dan kedua
anaknya, tak pernah padam. Mengenal kehidupan Pak Andi mengajarkanku untuk
lebih menghargai hidup itu sendiri.
***
Yanthy Chan
Baba a, Teman kecilku
Donny nama aslinya, aku biasa memanggilnya baba a.
Bukan sengaja aku memanggilnya seperti itu. Itu dikarenakan dia tidak bisa
berbicara. Suara yang keluar dari mulutnya hanya sebuah kata ba..ba..atau
aw..aw..saja. Terkadang malah tidak berbicara sama sekali karena dia malu bila
mengeluarkan suaranya. Makanya aku memberinya julukan seperti itu. Bersamanya
seperti mempunyai kakak laki-laki lagi. Ayah pernah berkata. “Jangan dzalimi
anak seperti itu, kamu cukup tersenyum dan berikan semangat padanya. Itu sudah
cukup”. Itulah yang kulakukan ketika beberapa bulan yang lalu aku bertemu
dengannya di Mall tempat dia bekerja sebagai Office Boy.
Jakarta, 071011
***
h'AsRi Ar'Dilla
Pengepul sampah
mereka mengais dan mngorek2 lubang2 yang kita
sendiri sering memalingkan atau bahkan memercingkan mata.... mereka melakukan
tgasnya dengan penuh semangat.cinta akan lingkungan,dibayar dengan seikhlasnya
untuk mghidupi keluarganya. inilah yang membedakan antara pengepul sampah
dengan tukang rombeng atau pemulung,yg malah bisa membayar barang-barang bekas
orl
***
Rahimah Yulia Fransiska
Jika Aku menjadi
Dia adalah mahasiswa. Aktivis sekaligus
intelektualis.
Idealis juga. Kuliahnya dibiayainya sendiri. Dengan menjadi
pelayan cafe, yang gajinya 500 ribuan. Prinsip hidupnya sangat simpel tapi luar
biasa. Seperti "lilin".
Pemuda yang rela mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain. Oh ya, satu lagi...dia juga religius. Kesederhanaannya
dan kebersahajaannya yang membuat dia luar biasa.
Aku cukup mengenalnya, karena dia kawan kampusku.
Semoga aku bisa sesederhana dia.
***
Zahara Putri
PERI
Aku ingin mempunyai sayap yang terbentang dan indah.
Andai aku menjadi seorang peri aku akan terbang dari satu kota ke kota lain.
Wah, khayalanku benar-benar imajinasi yang fantasi. Bagi aku peri itu ada untuk
menolong manusia dan aku ingin menjadi sosok seperti itu. Aku ingin menolong
korban bencana, kemiskinan, kelaparan, membantu permasalahan orang lain dan
mengatasi segala permasalahan yang ada di dunia. Aku gak suka dengan keadaan
negriku yang semrawut dan berbagai permasalahan melanda. Aku ingin hidup penuh
dengan kedamaian dan kebahagiaan. Aku juga ingin hidup penuh cinta kasih.
Memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Indah dunia …..
***
Echa Kare
"Jika aku menjadi= Tukang Sapu"
Sosok yang gagah berani,teguh pendirian,dan tak
pantang menyerah.Wajahnya selalu terukir dengan keceriaan tanpa mengeluh
mengerjakan pekerjaan yang kebanyakan orang meremehkannya,tukang sapu.Terik
panas yang menyengat tak menjadi halangan untuk menjaga kota Semarang semakin
indah dan mempertahankan gelar Adipura.Kegigihannya menuntutku agar tidak mudah
menyerah.
Aniq Rose Hubby PoetriZen
wanita paruh baya perkasa
menyalakan tungku saat manusia masih terlelap.
Menggadaikan jam tidur demi sesuap nasi anak2nya.
Mengolah tanah ketika ketika matahari naik
sepenggalah.
Tak mengenal lelah mengairi sawah walau matahari
telah memerah.
Karena tangan2 kokoh tak lagi kokoh.
Aku menangis tersedu menyaksikan itu.
Tapi Maafkan aku bunda..
Karena aku tak sehebat bunda..
Kata seseorang. Ketika ayah meninggal maka ibu
akan dengan perkasa mengambil alih fungsi ayah sebagai tulang punggung
keluarga.
Tapi ketika ibu meninggal maka tiada sesiapapun yang
akan sanggup menggantikan posisinya.
Maka seorang ibu lebih pantas dihormati 3x lipat
melebihi ayah.
***
April May My
Jika Aku Menjadi
Pak Leboy-Petani Sayur mayur
Tubuhnya hitam legam karena terbakar sinar mentari.
Di usianya telah renta ia masih saja mencangkul tanah, untuk di tanami
sayur-sayuran. Itu ia lakoni untuk menopang hidupnya dan isterinya. Untuk
mendapat hasilnya ia harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Bila tanamannya
bagus baru ia mendapat pemasukan. Tapi bila tanamannya di serang hama, tak
terbayang hutangnya untuk biaya hidup sehari-hari dan membeli pupuk tanaman.
Bila aku menjadi dirinya, tak terbayang apakah aku bisa menjalaninya.
***
Inara Ham
Brpuluh KM, tx prnah lelah ia kayuh spd bututnya..
Spda yg ruji"nya sdh bnyk yg ptah, rapuh krn
usia..
Spd dg karat d sana sini yg sllu mnmninya mnjljah
jalan brdbu d sgla musim.
... Apa kau pkir ia mnaikiny s'org diri?
TIDAK!!!
3 pnerus bngsa brbalut merah dan putih lusuh ia bwa
brsma d ats spd it.
Ya mrka adlh putra putrinya.
Ia lwn bekunya embun pgi hri.
Ia tantang terik mentari kala tengah hari.
Peluh mengucur mmprjelas gurat dan keriput d wajah
pasrahny.
Namun ia ttp melaju, membawa 3 prmta htinya mngejar
mimpi. Mnuntut ilmu d daerah tetangga.
Ket tmbahan :
trnyta sbgmnpun ortu it tdk mmpu, ia msi trs brjuang
agr anak2ny bsa mndptkn yg trbaik trmsuk pndidikan.
Mnrt sya, it adlh hal yg mengagumkn. *ni nyata lo!*
:)
***
Danu Prastyo
Manusia Jalanan.
Jika aku menjadi manusia jalanan. Yang lahir di jalanan.
Tumbuh di jalanan. Hidup di jalanan. Bernafas dari Jalanan. Aku tidak akan
pernah bisa merasakan indahnya dunia. Tidak akan pernah tahu sisi lain dunia.
Karena bila aku lahir di jalanan dan tumbuh hidup, bernafas di jalanan. Maka,
sejak itulah kakiku mengakar di Jalanan. Tanpa Jalanan aku tidak akan ...bisa
makan, karena hanya jalanan yang memberiku ruang untuk meraih rejeki,
mengumpulkan asa meski hanya untuk sesuap nasi. Jalanan juga merupakan rumah
tanpa jendela. Menyelimutiku dengan nyata. Bahwa Jalanan adalah sebuah ruang
yang tanpa kau sadari adalah sisi lain dunia nyata lawan dari fana. Ketika ada
tangis, takut ataupun tawa di Jalanan, Oleh manusia jalanan. Semua itu adalah
adalah kejujuran dari Dunia. Kejujuran dari sebuah kata yaitu Kehidupan.
Semarang, 8 Oktober 2011 / 15:27
***
Yulina Trihaningsih
Jika Aku Menjadi: Bang Udin, Petugas Sampah.
Bang Udin, sosok yang tidak banyak bicara, namun
jasanya sungguh luar biasa. Setiap hari, tugasnya memindahkan sampah-sampah
rumah tangga dari tempat sampah ke gerobak besarnya, untuk kemudian dia bawa ke
tempat pembuangan sampah di luar komplek ini. Bahkan bangkai-bangkai busuk
binatang seperti tikus, dan terkadang kucing yang terlindas mobil..., harus
beliau hadapi tanpa keluhan.
Pernah suatu hari, dengan sedikit malu, dia serahkan
selembar kertas foto copy untukku. Isinya ternyata undangan acara khitanan
anaknya yang ditulis dengan tulisan tangan. Aku terenyuh. Mungkin, bagi
sebagian orang dia bukanlah siapa-siapa. Tapi, tanpanya, tidak bisa kubayangkan
akan jadi seperti apa lingkungan rumah kami.
***
Achmad Faizal
Diana adalah bungsu
dari lima bersaudara. ayahnya hanya bekerja sebagai petani kecik dan
penggembala hewan ternak tetangga sedangkan ibu tidak bekerja apa-apa. keempat
saudaranya telah dipinang dan memiliki kehidupan masing-masing. diana ya...ng
memiliki mimpi menjadi seorang sutradara dan produser film ini berbeda dengan
saudara-saudaranya, yakni dengan melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA di
Situbondo. namun untuk mewujudkan mimpinya itu tidak semulus yang diharapkan.
dia harus menunda kuliah selama dua tahun, dengan mengajar bahasa Indonesia di
pondok pesantren setempat. berbekal tekad dan mimpi yang besar itu akhirnya
Diana dapat melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Jember. doa, air mata, dan peluh panas telah membakar niatnya untuk
menggapai mimpi-mimpinya itu. beasiswa yang didapatkan tidak disia-siakannya,
berawal dari sinilah upaya seorang Diana dimulai dengan segala kreatvitas yang dimilikinya.
Berkayuh sepeda ontel
tua sekitar 5km ditempuhnya setiap hari menuju kampus tak pernah lelah melawan
terik matahari dan debu jalanan. maklum, Diana tidak memiliki uang yang cukup
untuk kos di dekat kampus sehingga dia menumpang di rumah bibinya di jember.
namun itu semua tak pernah memupusnya untuk menggapai mimpi agung itu. disela
senggang kuliah Diana menerima order lukisan foto, menyulam, menjualkan tas
kerajinan tangan motif batik, bross dan lain-lainnya. selain aktif di berbagai
organisasi intra kampus, dia juga mahir menulis, baik artikel, esei, skenario,
puisi, cerpen serta komik. banyak lomba yang diikutinya, sehingga pernah
menjuarai 5 besar lomba puisi se-Jatim, dan juara 3 lomba komik sejarah
nasional yang diadakan oleh Dinas pariwisata Indonesia di Palu. mimpinya untuk
menjadi seorang sutradara sangat membara dibenaknya, pengalaman untuk
mewujudkannya itu telah dibuktikannya ketika menjadi sutradara pada pertunjukan
teater tunggal di aula fakultas sastra UNEJ.
***
Yully Riswati
Parmen
Bukan salah namaku Parmen, jika aku menjadi
pengamen. Bukan pula salah Emak mengandung, jika aku terlahir buntung.
Lihatlah, aku masih beruntung, meski miskin harta tapi kaya semangat hidup. Aku
berdiri dengan satu kaki di perempatan ini, setiap hari, sebagai usahaku
menjemput rizky. Tangan buntungku tak menengadah untuk mengemis atau ku
pamerkan agar orang menangis kasihan. Tuhan menganugerahiku suara merdu.
Sebagai rasa syukur, ku gunakan untuk menghiburmu. Sesungguhnya bagaimana pun
sempurnanya tubuh kita, tak ada yang lebih membahagiakandari kesempurnaan iman.
Dan itu yang ku pinta dalam setiap munajad cintaku.
~end~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar