Oseng Oseng Mercon dari Masa Lalu
Telanjang, tanpa selembar benang menutupi
tubuhku. Hanya debu, lumut, dan perdu kecil yang menutupi. Apa yang terjadi
denganku? Padahal baru semalam aku tertidur, mengapa tubuhku ditumbuhi lumut
begini? Ada apa dengan bajuku, mengapa semuanya rapuh? Aku sangat panik saat
terbangun dari tidur pada suatu pagi yang masih berselimut dingin di tengah
hutan lebat yang riuh dengan suara kicauan burung.
Aku bersihkan tubuhku di sebuah mata air,
tidak jauh dari tebing tempatku semalam terlelap. Dingin airnya menyegarkan
badanku, juga menyegarkan ingatanku yang tadi malam merasa begitu ketakutan
ketika ada beberapa orang ingin menganiaya diriku. Mereka adalah anak buah
seorang rentenir yang ingin menagih hutang bapakku, namun Bapak sudah beberapa
hari menghilang, pergi entah kemana tanpa memberitahu sepatah kata pun kepadaku,
dan anak buah rentenir itu ingin menjadikan aku sebagai sandera. Maka saat
mereka ingin menangkapku, aku pun berlari menuju sebuah hutan di sebelah barat dusunku,
lalu aku bersembunyi dibalik tebing yang di bawahnya ada ceruk seperti gua.
Lantaran lelah, rupanya aku telah tertidur nyenyak semalaman.
Selesai mandi, aku gunakan beberapa lembar
daun pisang sebagai penutup tubuhku, berharap bertemu dengan seseorang untuk
meminta pertolongan. Aku berjalan keluar hutan, semakin keluar, kudengar deru
suara-suara aneh yang selama ini tidak pernah kudengar. Seperti suara auman,
berderu, tapi kutahu itu bukan suara harimau, atau binatang buas lainnya. Suara
apakah itu gerangan? Hatiku bertanya. Aku pun semakin keluar hutan yang lebat,
dan suara itu semakin nyaring terdengar. Suara yang semakin bising, tiada
henti.
Aku telah berada di luar hutan, ketika mataku
terperangah dengan kehadiran benda-benda bergerak yang berseliweran di depanku.
Benda apakah yang dinaiki orang-orang itu? Lalu sejak kapan ada jalan bertanah
keras seperti batu ini? Aneh, berada di mana aku sekarang ini? Batinku tidak
henti bertanya penuh rasa heran.
Masih dengan beberapa lembar daun pisang yang
menutup tubuhku, aku berjalan dengan kaki telanjang di atas tanah keras yang
panas. Aku berjingkat-jingkat sambil terus melangkah di tepi jalan. Orang-orang
di dalam benda aneh yang mereka tumpangi itu menebarkan senyum ke arahku.
Mungkin mereka mengira aku orang tidak waras hanya menutupi tubuh dengan
selembar daun pisang.
Aku mulai melihat keganjilan itu kembali,
pakaian yang orang-orang itu kenakan sangat asing, dan belum pernah kulihat
sebelumnya. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, berada di mana aku?
Mengapa segalanya berubah hanya dalam waktu satu malam?
”Heh bocah, kemana pakaian-mu? Kamu tidak
malu telanjang di pinggir jalan?” Ada seorang lelaki tiba-tiba sudah berdiri tepat
di belakangku tanpa kusadari kedatangannya mendekatiku.
“Pakaianku hilang, Paman. Aku pun tidak tahu
kenapa semua ini bisa terjadi?”
Lalu lelaki itu menawarkan aku untuk ikut
dengannya. Katanya, ia akan memberikan baju anaknya yang berumur 10 tahun yang
seumuran denganku.
“Kamu tinggal dimana?” tanya lelaki itu saat aku
mengiringi langkahnya menuruni tebing landai di tepi hutan yang menuju ke
rumahnya.
“Aku tinggal di Dusun Waluh, Paman.”
“Dusun Waluh?”
“Iya, Paman tahu tempat itu?”
Ternyata lelaki itu tidak pernah mendengar
nama tempat tinggalku. Tanpa banyak berkata apa-apa lagi ia mengajakku untuk terus
berjalan menuju ke rumahnya yang berada di tepi sawah padi yang masih hijau.
“Ayah, bawa anak gembel dari mana ini?” Anak
lelaki yang tampaknya memang seumuran denganku itu menyambut kehadiran kami di
depan pintu rumah.
“Husss… jangan tidak sopan dengan tamu Ayah?
Segera ambilkan baju dan celana kamu untuk anak ini. Lalu temani dia sebentar,
ayah mau menghangatkan makanan di dapur.”
Lelaki itu pun menyuruh aku duduk di teras rumahnya.
Aku duduk di balai-balai bambu sambil menutupi tubuhku dengan daun pisang yang
tadi aku bawa. Angin di pinggir sawah berhembus lembut menerpa wajahku. Sejuk
sekali udara di tempat ini, aku jadi merasa mengantuk diterpa angin
sepoi-sepoi.
“Heh, kamu ngantuk ya?!” aku terkejut dan
gelagapan ketika anak lelaki bertubuh tambun itu tiba-tiba datang menyapaku.
Aku pun hanya mengangguk saja melihat wajah tidak ramahnya.
“Ini pakai bajuku!” Anak itu melemparkan
sepasang pakaian miliknya kepadaku. Aku pun segera memakainya.
“Dasar goblok, pakai baju saja tidak becus.
Terbalik itu bajunya.” Aku kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh anak itu.
“Terbalik bagaimana?” tanyaku.
“Kamu tidak pernah pakai baju memangnya? Yang
ada gambar Doraemon-nya itu di depan.”
Aku pun menuruti ucapan anak itu. Kubuka
kembali baju berwarna putih itu, lalu kupakai kembali dengan bagian gambar berada
pada bagian depan.
“Kamu dari mana sih, kok bisa ikut dengan
Ayah-ku?”
“Aku dari Dusun Waluh.”
“Dusun Waluh? Yang aku tahu di sekitar sini
tidak ada yang namanya Dusun Waluh. Yang ada cuma Desa Wonosari, Desa
Karangmojo, Semin, Semanuk, Ngawen, atau kabupaten Bantul. Lalu bagaimana kamu
bisa sampai ke sini?”
“Semalam aku dikejar-kejar orang jahat, lalu
aku lari ke hutan, dan aku tidur di dalam hutan. Saat aku bangun pakaianku
sudah hilang, lalu aku bertemu dengan Ayah kamu.”
“Kamu sekolah? Kelas berapa?”
“Sekolah itu apa?”
“Hah? Sekolah saja kamu tidak tahu? Ndeso sekali kamu ini…”
Aku hanya terdiam dibilang kampungan oleh
bocah di depanku. Aku sendiri masih bingung dan tidak mengerti mengapa aku
tersesat sejauh ini. Seingatku semalam aku hanya lari tidak seberapa jauh dari
rumahku.
“Siapa yang sedang nembang itu di dalam?”
Tanyaku saat kudengar alunan musik dan suara
orang sedang bernyanyi.
“Itu suara tivi. Kamu punya tivi di rumah?”
“Apa itu tivi?”
“Wah bener-bener ndeso banget kamu ini. Ayolah masuk kalau kamu mau nonton tivi.”
Aku pun masuk ke dalam rumah anak itu. Aku
terpegun melihat benda yang bernama tivi. Benda bergambar dan mengeluarkan
suara. Aku benar-benar takjub melihat benda bergambar warna warni dan
mengeluarkan suara itu. Di dusunku tidak ada satu orang pun yang memiliki benda
ajaib seperti itu.
“Ndeso…
ndeso… ndeso…” bocah itu terus mencemooh aku yang tengah terkagum-kagum sambil meraba-raba permukaan
tivi yang terbuat dari kaca.
“Andi… ayo ajak teman kamu makan!” Teriak
Paman dari dapur saat aku masih menonton tivi dengan bocah yang ternyata
bernama Andi.
“Ayo makan…” Ajak Andi setelah mematikan tivi
yang masih membuatku penasaran.
“Oh iya, siapa nama kamu?” Tanya Paman saat
aku sudah duduk di meja makan bersama mereka.
“Nama saya Warno.”
“Namamu ndeso
sekali.” Celetuk Andi lagi mencemooh aku.
“Andi…jaga ucapanmu!”
Andi langsung diam seribu bahasa saat ayahnya
menjentik telinganya.
“Ayo Warno ambil lauknya, kamu suka masakan
pedas, kan?”
“Iya saya suka Paman. Tapi ini masakan apa
namanya Paman? Saya belum pernah melihatnya.”
“Ini namanya oseng-oseng mercon. Isinya
tetelan sapi dicampur dengan cabe yang lumayan banyak dan rasanya sangat pedas.
Makanya dinamakan oseng-oseng mercon, karena rasa pedasnya seperti
meledak-ledak di dalam mulut kita.”
“Kalau di kampung saya hanya orang-orang kaya
saja yang bisa makan daging sapi, jadi Paman ini termasuk orang kaya ya?”
“Kaya dari Hongkong…” Celetuk Andi di tengah
obrolan aku dan Paman. Paman hanya melotot ke arah anaknya itu.
Aku pun akhirnya menikmati oseng-oseng mercon
itu. Rasanya memang pedas sekali, tapi
untungnya aku sudah terbiasa memakan masakan sepedas itu. Sebelum Si
Mbok meninggal, setiap pagi sebelum berangkat ke sawah membantu Bapak ia sering
memasakan aku nasi goreng yang rasanya sangat pedas yang akhirnya membuatku
terbiasa memakan makanan sepedas apapun. Aku sangat menikmati sekali rasa
daging sapi yang rasa pedasnya sampai membuat aku keluar keringat.
“Ayo tambah nasinya…” Suruh Paman. Aku pun
yang begitu berselera makan dengan oseng-oseng mercon menambahkan sesendok
besar nasi putih.
“Doyan apa kelaparan sih kamu?” celetuk Andi
lagi.
“Andiii…” Ucap Paman kembali memarahi Andi.
Oseng-oseng mercon itu benar-benar nikmat
menjadi teman makan nasi, rasa pedasnya membuatku berselera untuk terus
menikmatnya sampai perutku benar-benar kenyang tak terkira.
“Ibunya Andi juga berjualan oseng-oseng
mercon di pasar. Selepas makan nanti kamu ikut saja Andi ke pasar.”
“Baik Paman…”
Sepanjang perjalanan menuju pasar Andi tidak
henti mengintrogasi asal-usulku. Bahkan ia tidak henti menyebut-nyebut ‘ndeso’
kepadaku. Apalagi saat kutanya apa nama benda beroda empat yang bisa bergerak
itu.
“Mobil aja kamu nggak tahu, benar-benar ndeso!” Ucap Andi membuat aku semakin
bingung akan berada di mana aku sebenarnya. Mengapa yang ada di sekelilingku
semua serba asing, dan tidak pernah kulihat maupun kudengar selama ini.
Di salah satu sudut pasar seorang wanita
paruh baya yang sedang berjualan oseng-oseng mercon kulihat kedai makannya
tidak henti dikunjungi pembeli. Ia adalah Ibunya Andi. Para pembeli yang makan
di warung itu terlihat lahap sekali sambil sesekali menyeka keringat yang
keluar disebabkan rasa pedas makanan yang paling lezat yang pernah aku makan.
“Ini uang, pergilah jajan bersama Andi.” Ucap
Bibi menyodorkan dua lembar kertas yang disebutnya sebagai uang. Sejak kapan
ada uang berbentuk kertas? Yang kutahu selama ini uang itu berbentuk koin
berwarna keemasan. Karena jika bertanya macam-macam aku tahu Andi akan
mengejekku, maka aku lebih memilih diam dan mengikuti bocah yang seumuran
denganku itu menuju ke dalam pasar.
“Kamu pernah makan ice cream?”
Tanya Andi saat kami berhenti di sebuah
warung yang menjual makanan. Aku hanya menggeleng. Lagi-lagi dengan kata
“ndeso” Andi mengejekku lagi. Lalu ia meminta uangku, dan membelikan aku sebuah
makanan bernama ice cream. Enak sekali rasa ice cream berasa coklat itu. Dingin
dan manisnya membuatku tidak berhenti untuk menjilatnya. Sisi lain hatiku masih
saja dilanda kebingungan, ada dimana sebenarnya aku ini? Sepertinya aku sudah
masuk ke zaman yang peradaabannya sudah sangat maju, sehingga segala sesuatu
yang aku temui serba baru, dan serba tidak pernah aku tahu. Apakah aku sedang bermimpi?
Tanyaku di dalam hati sambil terus menikmati sepotong ice cream.
Menjelang senja aku kembali ke rumah Andi
bersama Ibunya. Di rumah Paman sudah menunggu. Ia menjelaskan bahwa usahanya
untuk mencari alamat tempat tinggalku tidak berhasil. Tidak ada satu orang pun
yang ia tahu keberadaan Dusun Waluh.
“Apa Paman pernah mendengar nama Patih Gajah
Mada?”
“Patih Kerajaan Majapahit maksudmu?”
“Apakah Paman pernah bertemu dengannya?”
“Bagaimana Paman bisa bertemu dengannya,
sekarang kan tahun 2012, sedangkan Gajah Mada itu hidup pada zaman kerajaan
majapahit, kalau tidak salah tahun 1331 masehi.”
“Tapi sebulan yang lalu ia datang ke Dusun
Waluh, bahkan aku melihatnya dari dekat sekali. Patih Gajah Mada itu baik
sekali Paman, semua penduduk di dusunku sangat menyanjungnya. Aku pun kalau
sudah besar ingin seperti Patih Gaja Mada.”
Kulihat Paman hanya termenung mendengar apa
yang barusan aku katakan.
“Kenapa Paman diam seperti itu?”
“Ah, tidak apa-apa. Begini saja, besok kita
ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan kamu, karena Paman nanti tidak mau
disalahkan.”
“Polisi itu apa, Paman?”
“Ermm… Besoklah kamu lihat sendiri. Sekarang
pergilah masuk ke dalam pergi mandi.”
“Paman, boleh tidak nanti aku makan
oseng-oseng mercon lagi. Aku ketagihan ingin makan lagi, Paman.”
“Oh, boleh! Mintalah dengan Bibi di dalam,
Paman mau pergi ke mesjid dulu hari sudah hampir maghrib.”
Selesai mandi, aku menemui Bibi di dapur dan
mengutarakan keinginanku untuk makan oseng-oseng mercon. Bibi pun menyediakan
aku sepiring nasi dan semangkuk oseng-oseng mercon.
“Bisakah Bibi memberitahu saya bagaimana cara
memasak oseng-oseng mercon? Jika nanti saya sudah pulang saya ingin meminta
Bapak untuk memasaknya.”
“Gampang saja kok, bahan dasarnya, tetelan
sapi, dimasak dengan bumbu yang ditumis, seperti bawang putih, kemiri, dan yang
terpenting cabe rawit. Perbandingan cabe dengan daging 10 banding 2, artinya 10
kilo daging 2 kilo cabe rawit. Sebelumnya daging direbus terlebih dahulu. Lalu masukan ke
dalam bumbu yang ditumis, setelah itu masak sampai minyak dari daging itu
keluar. Begitu saja. Mudah, kan?”
“Iya, mudah sekali cara memasaknya. Nanti
saya suruh Bapak untuk memasakanya.”
Selepas makan aku menonoton tivi bersama
Andi. Saat Bibi melihat aku mengantuk ia menyuruhku tidur di kamar Andi. Baru
saja beberapa menit merebahkan tubuh di tempat tidur, aku merasakan hawa dingin
menyelubungi tubuhku. Aku seperti dikurung di dalam bongkahan es yang teramat
dingin. Tubuhku menggigil dan bergetar-getar. Kemudian seperti ada sesuatu yang
lepas dari tubuhku, halus, seperti angin melayang di udara meninggalkan sesosok
jasad seeorang anak kecil yang sedang meringkuk di atas tempat tidur yang tidak
lagi bernafas. Kusaksikan dengan airmata berurai saat jasad itu tiba-tiba
menjadi keriput, lapuk, dan menyisakan tulang belulang berserakan di atas
tempat tidur. Saat seorang anak kecil bertubuh tambun masuk ke kamar itu, ia
langsung menjerit melihat tulang belulangku berserakan di atas kasurnya. Ia
langsung memanggil lelaki berkain sarung dan wanita paruh baya untuk melihat ke
dalam kamar.
“Astagfirullahaladzim...
benar dugaanku Bu, bocah itu ternyata berasal dari masa lalu, lihatlah
kepergiannya hanya menyisakan tulang belulangnya saja.”
“Lalu bagaimana, Pak? Apa yang harus kita
lakukan?”
“Tenang Bu. Begini saja, kita kubur tulang
belulang ini di hutan, kita tidak perlu bercerita kepada siapapun perihal ini,
bisa geger nanti jika orang lain tahu. Andi simpan rahasia ini ya?”
Bocah kecil yang bernama Andi itu pun hanya
mengangguk sambil menempelkan tubuhnya kepada ibunya dengan wajah yang
ketakutan memandang ke arah tulang belulangku . Kemudian tulang belulangku di
masukan ke dalam kain putih oleh lelaki yang berhati baik dan mulia itu. Lalu
ia pergi seorang diri ke hutan yang tidak seberapa jauh dari rumahnya, dan ia
mengubur jasadku di sana. Aku kembali meneteskan airmata menyadari bahwa kini
aku sudah berada di dunia lain dan hidup seorang diri.
“Hai bocah, kenapa kamu menangis di situ? Ayo
ikut aku…”
Sesosok berpakaian serba putih yang seperti
aku melayang-layang di udara tiba-tiba datang menyapaku.
“Siapa kamu? Kamu mau membawa aku kemana?”
“Aku juga sama seperti kamu, ciptaan Allah
Ta’ala. Aku bertugas mengantar anak-anak baik seperti kamu untuk masuk ke dalam
surga.”
“Wah, benarkah? Apakah di sana nanti aku bisa
mendapatkan teman dan orang-orang yang akan menyayangiku?”
“Tentu saja, banyak anak-anak seusia kamu di
surga. Kamu bisa bermain sepuas hati.”
“Apakah aku juga bisa memakan makan
kesukaanku?”
“Memang apa makanan kesukaanmu?”
“Oseng-oseng mercon.”
“Aneh namanya, tapi semua yang kamu inginkan
pasti tersedia untukmu.”
“Kalau begitu aku mau ikut kamu ke Surga dan
pastikan aku bisa makan oseng-oseng mercon di sana ya?”
Sesosok berwajah rupawan itu pun memegang
lenganku dan mengajakku terbang ke langit menuju surga yang sudah dijanjikan
sebagai tempat tinggal terakhirku.[]
Jogja,
Februari, 2012.
*Cerpen ini terdapat dalam buku "Mencari Gadis Galendo" terbitan Leutika Prio tahun 2012